Saturday, August 22, 2020

SABRINA MANAHIJUSSADAT; CERPEN; RINDU PULANG

 SABRINA; CERPEN ; RINDU PULANG

RINDU PULANG 

Oleh Neneng Fauziah ­

 

Bila boleh jujur tempat ini seperti penjara.

Atau mungkin neraka karena kian menyiksa jiwa.

Namun, darit empat yang

 kusebut penjara inilah aku belajar

banyak hal yang peringkatnya tidak akan didapat dar iwalikelas.

----(0)----


          “Qila, dipanggil bagian keamanan,”

          Aku yang sedang membaca buku langsung menoleh dengan alis yang mengernyit kebingungan. Aku murid baru, dan ketua kamar bilang, dipanggil ke kantor keamanan?

          “Sur’ah!” bentak ketua kamar menggunakan bahasa arab, artinya cepatlah!

          Aku bergegas untuk pergi ke kantor keamanan dengan suasana hati yang sangat kacau, karena bertanya-tanya apa kesalahanku sehingga dipanggil oleh bagian kemanan pondok.

----(0)----

          Aqila Fauziyah, itu namaku. Usia 11 tahun. Setelah lulus sekolah dasar, aku melanjutkan sekolah di salah satu Pondok Pesantren Modern yang ada di Banten. Menurut orangtua, di sinilah tempat yang tepat untuk anak mereka, pandangan di tempat ini memang terdapat banyak peraturan, tapi mereka percaya bahwa segala peraturan itu untuk kebaikan para santri.

          Enam bulan aku menjalani kehidupan di pondok ini. Di kota santri, kami diwajibkan uuntuk berbicara menggunakan bahasa arab dan bahasa inggris. Hanya dua bahasa itu, selain bahasa itu tidak boleh untuk diucapkan jika kami tidak ingin mendapatkan hukuman.

          Sepanjang waktu menjalani kehidupan, banyak sekali hambatan. Disamping harus menguasai bahasa arab dan inggris dengan cepat, terkadang hati ini sepi sekali. Tak jarang aku menangis, merindukan ibu dan ayah yang sekarang sangat jauh dari tempatku berada.

          “Jawab qila!!!” bentakan bagian keamanan membuyarkan lamunanku.

          Saat ini aku berhadapan dengan tiga orang bagian keamanan dan ketua pengurus di kantor pengurus pondok. Aku hanya menundukkan kepala, deras air mata mulai turun membasahi wajah.

          “Udah, gak usah nangis. Percuma nangis, air mata buaya. Ente mending ngaku aja! Kalo gak punya uang, mending minjem. Kalo ngambil punya orang haram, gak mikir! Gimana kalo orangtua ente tau anaknya maling!” bentak bagian keamanan yang lainnya.

          Aku tersentak, dari awal mereka membentak-bentak dengan kata kasar tanpa hati, menuduh bahwa aku telah mencuri uang di kamar asrama. Sebulan ini memang terjadi kasus kehilangan uang di kamar. Setiap malam, uang yang disimpan di lemari lenyap begitu saja, dan terhitung sekitar 10 sampai 15 ribu dalam satu malam. Ada peraturan yang mengharuskan kami untuk menabung semua uang di bank pondok dan hanya menyimpan duapuluh ribu rupiah saja di lemari kami masing-masing untuk mengantisipasi kehilangan uang dalam jumlah yang banyak.

          Setiap orang di kamar kehilangan uangnya secara bergantian. Sebulan berlalu, terhitung sekitar enam ratus ribu kurang lebih uang yang hilang, dan kami tidak mengetahui siapa pencuri uang tersebut. Termasuk ketua kamar yang lebih senior tidak mengetahuinya. Namun, aku merasa hancur malam ini. Tiba-tiba namaku dipanggil sebagai seorang pencuri, yang bahkan setitik niat untuk melakukannya tidak pernah ada di hati.

          “Gimana ana mau ngaku ukhti, ana gak mau ngakuin kesalahan yang gak pernah ana lakuin!” Bantahku dengan terisak.

          “Ya kalo gak salah, ngapain pake nangis? Biasa aja kali kalo gak ngerasa salah!”

          Ibu, dihadapanku manusia atau bukan? Ia hanya berpikir dengan kemarahannya tanpa didasari logika. Siapa anak berusia 11 tahun yang tidak menangis jika dari menit pertama ia dihujani dengan amarah dan bentakan keras terhadap dosa yang tidak pernah dilakukan? Batinku menjerit.

          “Yaudah, sekarang udah malem. Aqila, kamu bilang aja yang sebenernya. Ini udah larut, kita juga harus sekolah besok pagi, kamu juga. Jadi jangan ngulur waktu. Kamu bilang yang sebenernya ya, kita gak akan marah-marahin kamu lagi kok,” ujar wanita berkacamata yang menduduki jabatan ketua pengurus.

          “Gimana…. Qila, m-mau..ngaku kak…Qila gak nyuri uangnya…bahkan uang Qila…juga…penah…ilang,” Jawabku, isak tangis membuat perkataanku terputus-putus. Pilu rasanya.

          Bukti tidak bisa dikumpulkan, aku hanya bisa menangis semalaman. Berkaca pada diri sendiri, apa dosa yang pernah aku lakukan sehingga tuhan menghukum dengan ujian seberat ini.

----(0)----

          Bel berbunyi, tandanya kami harus pegi ke kelas untuk belajar. Aku bergegas menuju kelas. Dengan cepat, kabar bahwa diri ini adalah pencuri, tersebar  di seluruh pondok. Kaki ini melangkah sendirian, dengan langkah yang gontai tanpa gairah.

          “Eh, Qila! Lu maling duit ya?” Bentak Ana, salah satu teman sekelas. Aku baru saja menghempaskan diri di bangku, sudah harus sarapan bentakan yang menyayat hati. Aku hanya diam.

          “Kalo gak salah, ya gak usah nangis kali Qila,” tambahnya yang kini tiba-tiba duduk di hadapanku. Ana ini asal betawi, blak-blakan menjadi sifatnya, dan ia merasa seolah-olah ia adalah orang yang paling berkuasa.

          “Qila, gua tau lu jarangdijenguk orangtua lu, tapi kalo gak punya duit bilang dong, gua pasti pinjemin kalo gua punya. Tapi lu jangan nyuri!” ujarnya kasar dan begitu nyolot.

          “Aku gak nyuri, jadi tolong, stop nuduh-nuduh aku!” aku menatap tajam mata Ana.

          “Ngapa lu? Nantangin gua? Kalo maling, ya maling aja kali. Gak perlu sok jagoan, mending lu ngaku aja deh, dari pada urusannya jadi rumit entar, mau lu bersumpah kayak gimana juga gak bakal ada yang percaya. Seisi pondok juga udah tau elu malingnya.” Matanya balik menatapku lebih tajam.

          “Eh…. Ada apa ini ribut?” tegur wali kelas yang baru saja datang.

          “Ini ustadz Aqila nyuri uang,” tunjuk Ana padaku, teman-teman seisi kelas yang tadinya ramai dengan bisikan-bisikan  mereka tentang diriku menjadi hening seketika

          “Demi Allah, aku gak nyuri…” timpalku mulai terisak kembali

          “Ya, kalo gak ngerasa jangan pake nangis kali.” Geram Ana.

          Ustaz Palani menatap penuh tanya, apa benar aku sudah mencuri? Sedangkan namaku tercatat sebagai bintang kelas semester kemarin. Mata tajam yang berbinar lembut itu terlihat mencari jawaban pada mataku.

          “Ya sudah, sekarang bukan waktunya untuk itu. Sekarang waktunya belajar, nanti Aqila ke kantor Ustaz, ya,” Ustaz Palani meminta kami untuk kembali belajar.

          Mataku menatap kosong tulisan materi yang mulai ditulis. Otakini tidak bisa mencerna apapun yang disampaikan oleh guru bahasa arab itu. Hati ini masih menjerit tanpa didengar oleh siapa pun. Tidak ada satu pun yang percaya, termasuk kakak sepupuku yang juga santri kelas tiga SMP di situ.

          Semalam, selepas keluar dari kantor bagian keamanan, aku menangis keras dan datang kepada kakak sepupu untuk mengadu atas hal yang terjadi. Bukan kata penenang yang didapat, melainkan bentakan yang lebih kasar dari pada perkataan bagian keamanan.

          Ibu…

          Ayah…

          Tempat macam apa ini?

          Mengapa kalian titipkan aku di tempat seperti ini dalam usia yang sangat dini? Bahkan masa kanak-kanakku belum habis. Apa memang seperti ini, yang namanya kehidupan?

          Jika aku harus terus bersabar, bolehkah aku meminjam pundak kalian? Pundak ini terlalu kecil dan rapuh untuk menanggung beban berat sendirian. Izinkan aku meminjam pundak kalian, setidaknya sampai semua ini bisa dilewati.

          Aku menyerah bu! Apa ibu tahu? Anakmu dicap sebagai pencuri oleh seribu orang lebih di sini. Aku tidak ingin di sini bu!! Bawa Qila pulang!!

          Tulisku pada lembar akhir buku pelajaran.

----(0)----

          “Halo, Assalamualaikum,” sapa suara lembut di ujung sana melalui telepon. Setelah berbincang dengan Ustaz Palani, aku meminta izin menggunakan ponselnya untuk menelepon ayah, santri di sini tidak boleh mebawa telepon genggam yang sudah lumrah dimiliki banyak pelajar. Mendengar suara berat khas miliknya, membuatku refleks menangis.

          “Halo, siapa ini?” suara itu terdengar dua kali.

          “Ayah, ini Qila” aku terisak, membuat ayah terdengar khawatir

          “Qila sakit… sakiit sekali.. jemput Qila, Yah,” aku memohon pada ayah.

          “Sakit apa? Kenapa?” ayah terdengar semakin khawatir.

          “Jemput Qila, Ayah” aku kembali memohon dan masih terisak

          “Ya sudah, besok ayah ke sana,”

          “Sekarang Ayah… Qila gak kuat,” tangisku semakin menjadi.

          “Iya, sekarang.” Setelah ayah berjanji untuk mengunjungiku, aku menutup telepon.

----(0)----

          Ya Allah, apa penawar dari sikaan ini? Aku tercalit pilu dan duka  dirajam kata-kata yang nista. Tertusuk oleh tajamnya setiap pandangan mata. Tersakiti dengan setiap cacian dan cibiran yang menyiksa jiwa. Menanggung beban atas dosa yang tidak pernah kulakukan. Sendirian!

          Aku melara terbiar sepi. Hanya bersama luka dan perih yang menemani. Dengan harapan agar ini segera terlewati.

          Isak tangisku meledak lepas ketika ibu datang dan berhambur memeluknya. Mata ayah dan ibu terlihat berkaca-kaca, hati mereka pedih sekali melihat putri sulungnya menangis keras.

          “Qila, kenapa? Ayo bilang sama ibu,” tanya ibu lembut.

          “Qila ingin berhenti sekolah di sini, Bu. Qila sakit, Bu. Qila gak kuat lagi,” jawabku sesegukan.

          Wanita paruh baya yang kini ku peluk menghela napas berat, lalu mengusap lembut punggung. Ayah memalingkan wajahnya, lalu mengusap pelan matanya. Aku memang tidak pernah menangis keras di hadapan mereka.

          “Qila dituduh mencuri,Bu,” akhirnya kuceritakan segalanya pada ibu dan ayah. Segala yang terucap dari bibir ini membuat keduanya terdiam. Setelahnya, ibu memelukku erat.

          Tangan lembut wanita paruh baya itu menggenggamku erat, matanya berbinar menatapku. “Sayang, ibu percaya kamu kuat. Ibu percaya kamu punya hati yang cantik, yang selalu sabar, yang selalu ikhlas,”

          Ajarkan aku memiliki hati yang cantik itu, Bu, yang bisa sabar dan ikhlas tanpa ada air mata, yang selalu kuat saat ujian melanda. Ajarkan aku cara untuk memilikinya, Bu. Batin ini kian menjerit, tak kuasa menanggung pedih yang ia derita. Lebih dari seribu masyarakat di pesantren ini memandang dengan pandangan yang jijik. Mereka menganggapku kotor. Mereka bergosip tentang diriku. Lalu, bagaimana caranya agar gadis 11 tahun ini tetap menahan beban berat di pundak kecilnya?

          Ayah memelukku erat, aku yakin batinnya menjerit juga saat itu. “Nak, kau ingin menjadi besar? Kau ingin menjadi sukses? Lihat orang besar dan sukses, jalan hidup mereka tidak ada yang mudah. Selalu ada cobaan-cobaan yang terus menghantam mereka. Jangan berhenti, itu artinya kau telah menyerah untuk menjadi orang besar. Karena di mana pun, cobaan dan ujian akan selalu ada.” Terang ayah dengan lembut. “Kamu kuat ya, sayang,”

          Tangisanku berubah menjadi pelan beberapa saat kemudian. “Tapi izinkan aku pulang ibu, ayah, ku mohon. Hanya sebentar saja tak apa, aku ingin pulang,” aku hanya ingin beristirahat sebentar ibu, ayah. Tolong! Batin ini sudah lelah. Biarkan aku pulang. Aku merindukan rumah, tempat yang paling damai. Merindukan  suasana tentram di rumah. Bawa aku pulang!, aku rindu pulang!

          Akhirnya, ayah berbicara kepada pimpinan pondok untuk membawaku pulang, termasuk masalah terkait mengapa aku ingin pulang. Sebenarnya posisi saat ini adalah serba salah. Karena terlanjur buruk di mata ribuan orang, apa pun yang dilakukan hanya akan mendapat nilai buruk. Jika tetap diam di asrama, mereka akan berkata, “gak tau malu yah, udah nyuri, gak tau diri, masih aja di sini,” jika pulang mereka akan mengira bahwa yang mereka tuduhkan kepadaku adalah benar, sedangkan aku tidak punya bukti apa pun untuk membela diri sendiri.

----(0)----

          Ada satu hal, yang menurutku sangat sulit untuk dilakukan. Mudah untuk dikatakan. Namun jika ia dilontarkan, itu artinya hati tak sejalan. Karena, hal tersebut tidak ada pada mulut. Hal tersebut hanya ada dalam hati. Hanya dirinya, dan tuhan yang mengetahui. Itulah, IKHLAS.

          ”Qila…” panggil salah satu kakak kelas yang satu kamar denganku, aku memang telah kembali ke asrama setelah menghabiskan waktu tiga hari di rumah untuk menenangkan diri dan mengalihkan pikiran.

          “Iya ukhti, limadza?”[1] sahutku setelah merapikan baju di dalam lemari.

          Gadis satu tahun lebih tua yang bernama Tari itu duduk di sampingku. “Ika disidang bagian keamanan,”

          Pernyataannya membuat dahiku mengerut kebingungan.  “lho emang ada kasus apa?” tanyaku kebingungan.

          “Kemarin sore, dia kepergok ngambil uang di lemari Ina sama ketua kamar. Awalnya disidang sama ketua kamar, dia gak mau ngaku. Akhirnya, semalam disidang ketua sama bagian keamanan, akhirnya ngaku. Dia juga yang udah fitnah kamu. Dia yang bilang ke ketua kamar bahwa dia liat kamu ngambil uang di lemari Tia, akhirnya ketua kamar laporin kamu ke bagian keamanan.”

          Aku terdiam mendengar penuturan kak Tari. Hati ini bimbang antara senang dan marah. Senang karena terbebas dari cap “maling” yang tidak pantas didapat. Sangat marah karena gadis bernama Ika telah menghancurkan dan mencoreng nama baikku.

          Ingin sekali rasanya tanganinimenampar wajahnya, dan bertanya, apa salahku kepadanya sehingga ia tega melakukan ini?

          Setelah semalam disidang, ternyata  Ika pulang dan pindah sekolah. Orang bilang ia ketakutan. Setelah ia pulang, aku menerima permintaan maaf dari teman satu kamar, juga ketua kamar. Sebagian dari para santri hanya memandangku dengan perasaan bersalah, lalu sungkan untuk meminta maaf.

          Pelaku yang memfitnah, pergi tanpa sepatah kata maaf. Sejak saat itu, aku  mengalami trauma terhadap bentakan keras. Walau bukan ditujukan untuk diriku,mataini akan menangis keras jika mendengarnya.

          Di mana pun kamu berada sekarang, Ika. Jika kita bertemu, aku tidak akan memarahimu, tidak pula akan memandangmu penuh kebencian. Diri ini hanya ingin berterimakasih, karena telah melatih mentalnya saat usia dini. Karenamu, ayah mengajarkan bahwa jalannya orang hebat tidak mulus, dan kata itu terpatri sejak usia itu. Sulit untuk melupakan kejadian ini, namun aku telah memaafkanmu. Semoga cerita ini, dapat menjadi pelajaran bagi mereka yang membaca. Pelajaran yang tidak akan mereka dapatkan di dalam kelas.

Penulis adalah Alumni Ponpes Manahijussadat Angkatan 2015



 

No comments:

Post a Comment