Tuesday, April 26, 2016

Wisuda Santri Akhir TMI Pontren Manahijussadat Angkatan ke-16



Wisuda Santri akhir TMI 
Pondok Pesantren Modern Manahijussadat Angkatan 16

Ahad, 24 April 2016


Hari yang dinanti oleh santriwan/santriwati akhir Tarbiyatul Mu’alamin Al Islamiyah (TMI) Pondok Pesantren Modern Manahijussadat Angkatan ke-16 adalah hari Ahad tanggal 24 April 2016. Mereka berbahagia sekaligus sedih. Bahagia karena mereka berhasil menyelesaikan masa studi menjadi santri selama 4 tahun bagi mereka yang masuk dari kelas 1 Exention, dan 6 tahun bagi mereka yang masuk dari 1 Madrasah Tsanawiyah (MTs). Sedih karena mereka harus berpisah dari sekian tahun berkumpul bersama. Untuk Tahun 2016 ini santri akhir yang diwisuda berjumlah 61 orang, 21 laki-laki dan 40 perempuan. Diantara mereka Alhamdulillah ada yang mengabdi baik di Pondok Pesantren Manahijussadat itu sendiri maupun keluar memenuhi permintaan atau permohonan beberapa pondok pesantren yang membutuhkan. Dan itu membuktikan bahwa lulus pondok pesantren khususnya pondok pesantren modern telah terbukti bahwa mereka sanggup untuk terjun langsung sebagai pendidik ataupun pengajar untuk menularkan ilmu yang telah didapat.

Dengan tata panggung yang indah santriwan santriwati siap menatap masa depan. Karena selama jadi santri di Pondok Pesantren Modern Manahijussadat Serdang Ds. Pasarkeong Kec. Cibadak Kab. Lebak Prov. Banten bukanlah akhir dari pendidikan. Mereka dituntut untuk lebih maju lagi. Itu sesuai dengan amanat atau pesan dari Pimpinan Pondok Pesantren Modern Manahijussadat.

Pimpinan Pondok Pesantren Modern Manahijussadat Drs. KH. Sulaiman Effendi, M.Pd.I juga mengamanatkan kepada para santri bagaimana kehidupan kita bisa bermanfaat. Karena nilai mereka/raport anak santri adalah sesungguhnya sejauh mana mereka memberi manfaat kepada orang.
خير الناس انفعهم للناس
Dan orang yang paling berbahagia di dunia adalah orang yang paling banyak andil membahagiakan atau menyenangkan orang lain. Anak santri tetap selamanya anak santri, jadi kita harus pandai menghargai diri. Hargailah diri kita dimanapun kalian berada. Menghargai diri artinya meletakkan diri pada tempat yang terhormat, memposisikan diri untuk tujuan-tujuan yang terhormat.

Kegiatan wisuda angkatan ke-16 ini selain dihadiri pimpinan pondok dan segenap dewan guru serta seluruh santrinya, juga dihadiri oleh para tamu undangan, diantaranya dari Kapolsek Cibadak, Kantor Kecamatan Cibadak, para pimpinan pondok pesantren, dan lain-lain. Juga Alhamdulillah berkenan hadir Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Banten Bapak Drs. H. Moh. Agus Salim, M.Pd yang mengapresiasi kegiatan wisuda ini. Kenapa? Karena bukan rahasia lagi, banyak di luar sana kegiatan-kegiatan semacam ini malah ke arah negatif. Contoh kecil saja setelah mereka selesai mengikuti UN, mereka yang merupakan calon generasi muda malah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Di Pondok Pesantren kita melakukan kegiatan penuh dengan kehidmatan dan keteladanan. Kakanwil juga mengapresiasi prestasi yang telah ditorehkan oleh para siswa yang berasal dari Madrasah yang selama ini sering dipandang sebelah mata. Kepala Kanwil Kemenag Prov. Banten juga mengucapkan selamat kepada para wisudawan, raih cita-cita yang lebih tinggi lagi, jangan puas dengan apa yang telah dicapai sekarang.

Monday, April 11, 2016

Tradisi Santri dan Budaya Ngantri



Tradisi Santri dan Budaya Ngantri
Oleh: Nanang Haikal Maulana SHi, MA

Lima Karakter Santri
Banyak para ilmuwan yang memberikan definisi tentang santri, untuk itu kita itu akan mencoba memberikan pemaknaan secara filosofis sesuai dengan tradisi dan karakter santri dan bisa memaknai ulang kata santri dalam bentuk yang lebih operatif. Santri terdiri dari kelima huruf: sin, nun, ta, ra, dan ya. Kelima huruf ini merupakan awal dari karakter yang harus dimiliki seorang santri.

Sin atau S sebagai huruf pertama pada kata santri dapat dimaknai sebagai perilaku  salima, salama. Salima salama berarti tunduk, patuh, selamat, memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Bahkan alam raya di sekitarnya pun mendapatkan keselamatan dari perilaku seorang santri. Inilah karakter pertama seorang santri, terus-menerus menyelamatkan diri dari akhlak yang buruk setelah itu ia akan menyelamatkan orang lain dari akhlak yang buruk.
Nun atau huruf N, bisa berarti nur, yang berarti cahaya. Nur dalam al-Quran dikaitkan dengan Cahaya Ilahiah, seperti firman Allah dalam Surat an-Nur: Allahu nurussamawati wal ardl, “Allah adalah yang mencahayai langit dan bumi”. Sementara pada banyak hadits, nur dikaitkan dengan cahaya ilmu, seperti hadits al-‘ilmu nurun.Karakter kedua pada kata santri ini menunjukkan isi dari pribadi santri. Isi kepala dan hati seorang santri adalah cahaya ilahiah dan cahaya ilmu, bukan yang lainnya. Kalau seorang santri dibedah, darahnya adalah cahaya, isi kepalanya adalah cahaya, demikian pun isi perutnya: semuanya cahaya. Hal ini dapat terjadi karena kerjaan utama seorang santri adalah belajar, mengajar, membaca, dan menulis.

Seorang santri memiliki tradisi mencium tangan ulama ketika bersalaman, mencium al-Quran juga kitab sebelum dan sesudah membacanya, semuanya itu karena cahaya. Jadi, yang dicium dari lengan kyai bukan lengannya namun cahaya ilmunya. Lengan ulama itu adalah lengan yang terus bersentuhan dengan al-Quran dan kitab-kitab, karena itu lengannya dipenuhi pendaran cahaya ilahiah dan cahaya ilmu. Maka bukan lengan itu yang dicium, melainkan cahaya keilmuan dan cahaya ilahiah yang dicium. 
Ta atau huruf (T) dapat berarti taabi’ al-‘ulama, berarti menjadi pengikut ulama. Ini karakter yang ketiga, yakni menjadikan ulama sebagai model, sebagai idola hidupnya. Seorang santri tidak mengidolakan para selebriti, atau pemain bola, apalagi politisi. Seorang santri terus mengidolakan ulamanya, menginginkan dirinya hidup dan menjalankan hidup seperti ulamanya. Bagi santri, tak ada yang lebih hebat dari pada ulamanya, karena memang demikianlah kenyataannya. Dari ulama inilah seorang santri mendapatkan pasokan “cahaya ilahiah” dan “cahaya ilmu”; dari ulama juga seorang santri dapat menemukan model bagaimana memberikan keselamatan dan kedamaian pada orang-orang di sekitarnya.  Jika sumber cahayanya adalah ulama, layaklah ulama itu dimuliakan, karena ulama merupakan pewaris para Nabi, (al’ulamaau warosatu al anbiyaau)
Ulama adalah sumber mata air, sumber kesucian. Jika sumber tak ada, tak akan ada air dan cahaya.  Untuk itulah dunia pesantren ditandai oleh adanya ulama dan santri, juga sikap penghormatan kepada ulama. Dunia Islam pun seharusnya demikian, ulamalah yang harus dihormati dan diteladani. Tak ada yang harus dijaga kecuali ulama.
Ra atau huruf R, merupakan kependekan dari  ri’ayah, berarti “mengasuh, mengayomi atau menggembala”. Seorang santri pada awalnya adalah “gembalaan” (ra’iyah) dari sang penggembala (ra’in), yakni ulama dan para pengasuh. Santri dijaga, diarahkan, dinasehati, kadang-kadang pada kondisi tertentu diberikan hukuman agar ia terjaga dari hal-hal yang subhat –apalagi yang haram.  Pada saat di pesantren, seorang santri harus terus di bawah pengendalian penggembalanya, yakni ulamanya. Baru kemudian setelah dianggap lulus dan memiliki kenaikan karakter yang mulia, seperti penggembalanya, ia akan dilepas di tengah masyarakat. Saat berada di tengah masyarakat itulah, seorang santri memiliki tugas baru yakni “mengasuh atau menggembala” dirinya dan masyarakat. Salah satu karakter penggembala adalah dia rela tubuhnya terbakar matahari dan lusuh dibawah deras hujan asal gembalaannya bisa makan dan aman dari berbagai gangguan.
Ya atau huruf Y  dapat berarti yaqadza, berarti yang terbangun kesadarannya. Seorang santri adalah orang yang terus-menerus mengondisikan kesadarannya “bangun”, tidak pingsan. Sementara orang-orang lain, anak-anak seumur santri, menjalankan kehidupan tanpa sadar mengikuti kebudayaan yang mencelakakan dirinya, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, seorang santri menjalani hidupnya dengan penuh sadar, yakni  mencintai ilmu.
Kelima karakter inilah yang harus menjadi kepribadian seorang santri. Jika dibuat menjadi satu kalmiat, seorang santri adalah seseorang yang menampilkan diri sebagai orang yang menyelamatkan kehidupan (salama) dengan cahaya keilmuan dan keilahian (nur ilahiah dan nur ilmiah) yang dimilikinya, yang terus menjunjung tinggi muru’ah ulama dan ilmu (tabi’ al-‘ulama), karena itu ia akan mengasuh ummat (ri’ayah al-ummah) agar terus-menerus terjaga kesadarannya.
Santri dan Tradisi Ngantri
            Santri hidup di pesantren, bersamaan dengan banyak orang,  banyak kepentingan, banyak kebiasaan. Semua itu harus dijalani dengan baik. Konon, itulah miniatur kehidupan. Kehidupan penuh dengan pelbagai kepentingan dan kita harus dapat mewarnai kehidupan itu dengan nilai-nilai kesantrian. Maka nikmatilah suasana pesantren, bukan untuk dikeluhkan namun dijadikan sekolah kehidupan.

            Salah satu fenomena yang didapatkan di dunia pesantren adalah ngantre Sebabnya mudah ditebak. Fasilitas terbatas, jumlah orang sangat banyak. Otomatis harus ngantri. Demikian pula dalam kehidupan yang sebenarnya, fasilitas tak pernah tersedia sama banyaknya dengan orang yang membutuhkan. Selalu kurang, dan membutuhkan tradisi ngantri. Jadi, kalau di pesantren terbiasa ngantri, di dunia kehidupan sangat dibutuhkan agar santri terbiasa dengan ngantri. Tidak sekadar ngantri tetapi juga sanggup memaknainya sehingga mendapatkan pahala dan hikmah.
            Ngantri secara vokal agak mirip dengan nyantri. Memang seorang santri haruslah sanggup, mampu, terbiasa, sanggup bersabar, dan bersyukur pada saat ngantri. Dasarnya adalah rukun ibadah. Seorang santri tentu mengetahui bahwa pada beberapa rukun ibadah mahdhah, seperti wudlu, shalat, haji, memiliki salah satu rukun yang tidak ada aktivitasnya namun jika tidak dilakukan akan membatalkan semua aktivitas lainnya. Rukun wudlu yang terkait aktivitas adalah niat, mencuci muka, membasuh tangan, membasahi rambut, dan mengusap  kaki. Lalu ada satu rukun lagi yang tanpa aktivitas, yaitu tartib atau melaksanakan urut-urutan kegiatan sesuai dengan tata aturan. Jika pelaksanaan kegiatan wudlu   tidak tartib, batallah semuanya. Tartib inilah asal dari tradisi ngantri.
            Seorang santri akan menjalankan seluruh kehidupannya dengan tartib. Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah. Seluruh kehidupan, apapun itu baik membeli karcis, mandi, BAB, makan, adalah ibadah. Rukun utama dalam ibadah sehari-hari adalah niat dan tartib.  Niat harus didasarkan hanya untuk mencari keridlaan Allah, sedangkan tartib adalah menghargai dan menjalankan tata aturan dengan baik. Jika tanpa kedua rukun itu, makan, mandi, BAB dan sejenisnya tidak akan bernilai ibadah.
Keseharian Pesantren yang bisa jadi dianggap menyebalkan, karena segala sesuatu harus dilakukan dengan ngantri, sebenarnya sedang mengajarkan realitas kehidupan. Yaitu ngantri atau tartib. Seorang santri, dengan demikian, adalah orang yang sanggup tertib di tengah masyarakat, menghargai siapa yang dulu siapa yang kemudian. Dengan ngantri setiap hari di pesantren, maka para santri akan terbiasa dan merasa nyaman saat mengantri dalam kehidupan.
 Pada titik ini kita bisa memaknai bahwa huruf Ta pada kata S-A-N-T-R-I adalah Tartib. Jadi huruf Ta bukan sekadar Tabi’ al-‘Ulama namun juga tartib dalam kehidupan. Siapa yang tartib dalam kehidupan, ia akan mendapatkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. (*)

Penulis adalah Dosen Filsafat dan Aqidah (theology) di Fakultas Fisip UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung,  juga aktif di berbagai organisasi keagamaan dan kepemudaan.

Kesuksesan Terbesar Dalam Hidupku



Kesuksesan Terbesar Dalam Hidupku
Oleh: Muhamad Ridwan Faisal, S.Hum (Alumni, Ustadz Pontren Manahijussadat Serdang Cibadak Lebak)
 Hidup itu adalah sebuah pilihan. Pilihan antara dua hal, hidup dalam kegagalan dan kesengsaraan atau berhasil meraih manisnya kesuksesan dalam kehidupan. Jika ditanyakan kepada semua orang yang ada di muka bumi ini mana yang hendak mereka pilih, tentu semuanya ingin hidup dalam kebahagiaan yang teramat manis rasanya. Dan tak ada satupun insan di muka bumi ini yang ingin merasakan pahitnya sebuah kegagalan dalam kehidupannya. Namun, dalam mencapai kesuksesan itu tak semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi butuh perjuangan yang mutlak harus ditempuh dalam mencapainya. kesuksesan itu tak akan pernah datang menghampiri seseorang secara tiba-tiba, instan, tanpa melalui perjuangan yang nyata.
            Kesuksesan dalam segala hal merupakan cita-cita semua orang. Semuanya ingin sukses, dan tak ada satupun yang ingin gagal. Tapi semua itu perlu usaha dan tekad untuk meraihnya. Kesuksesesan tak akan datang menghampiri orang yang hanya duduk terdiam menunggunya. Kesuksesan pula tak akan pernah menyambangi orang yang terbaring nyenyak dalam kasurnya. Kesuksesan hanya akan menyapa orang orang yang memimpikannya dan berusaha untuk mewujudkan mimpinya. Kesuksesan akan menyambangi mereka yang ‘sadar’, sadar untuk terus membangun diri. Kesadaran untuk terus membangun diri adalah titik awal sebuah kesuksesan.
            Usiaku kini sudah tak lagi muda. Terlahir dari sebuah keluarga yang cukup memahami agama yang dianutnya. Mengawali sejarah pendidikanku, saya mengenyam manisnya masa kanak-kanak di RA (Raudhatul Athfal) Nurul Huda, yang berlokasi tak jauh dari rumahku, dan melanjutkan ke jenjang Sekolah Dasar kelas satu masih dikampung halaman, namun ketika duduk dikelas 2 SD, orang tuaku memindahkan pendidikan SD-ku ke sebuah pondok pesantren yang jauh dari kota kelahiran. Dengan tujuan agar aku lebih semangat lagi dalam mempelajari dan memahami ilmu-ilmu agama di sana. Sebulan, dua bulan aku coba paksakan untuk tetap bertahan menimba ilmu di ‘penjara suci’ itu, dan akhirnya perjuanganku berakhir pada bulan ketiga. Kesabaranku sudah habis, usahaku untuk mencoba betah tinggal jauh dari orang tua di pondok itu harus kandas.  Aku menyerah pada kegagalan! entahlah, apakah itu yang dinamakan sebuah kegagalan? aku pun tak tahu!.
            Aku kembali bersekolah di Sekolah Dasar dekat dengan tempat tinggalku. Teman teman lama menyapaku bahagia, dan sebagian ada yang terheran dan bertanya-tanya akan keputusanku untuk berhenti menimba ilmu di pondok pesantren kala itu. Diam adalah pilihanku kala itu karena akupun tak tahu apa alasan pasti yang menyebabkan aku harus menyerah dengan ketidak betahanku. Mungkinkah karena jauh dari orang tua ataukah karena umur seusiaku yang aku rasa terlalu ‘sadis’ untuk dipisahkan jauh dari belaian kasih sayang orang tua.
            Kegiatan belajar sudah berjalan, perlahan dan pasti saya sudah mulai kembali beradaptasi dengan lingkungan yang 3 bulan terakhir ditinggalkan. Perlahan saya mulai merancang target dalam belajar serta terus menata fokus dalam memahami setiap pelajaran yang disampaikan oleh mereka, para pahlawan tanpa jasa. Saya juga mulai berhati-hati dalam bersikap dan jangan sampai mengecewakan atau terlebih membuat marah kedua orang tua dengan perilaku saya. Karena mereka kelak akan mengembalikan saya ke pondok pesantren jika saya tidak patuh pada perintah dan mengecewakan kedua orang tua. Hal itulah yang membuat saya lebih hati-hati dalam bersikap, karena saya tidak ingin kembali ke pondok pesantren.
            Saya mulai tekun dalam belajar, bersungguh sungguh dalam menyerap segala pelajaran. Ketekunan dan kesungguhan ku dalam belajar akan semakin bertambah saat memasuki masa-masa ujian. Alhamdulillah berkat semua itu, saya selalu masuk ke 3 besar siswa dengan nilai tertinggi di kelas. Berusaha keras dalam mempertahan kan prestasi yang kuraih adalah harga mati, namun jika tidak, atau dalam hal ini jika prestasiku menurun, tak jarang 2 buah penggaris patah karena dilayangkan pada salah satu lengan tanganku oleh ibuku. Saya meyakini bahwa semua itu beliau lakukan untuk kebaikanku kelak. Walaupun pernah saya beranggapan bahwa ibu ku lebih kejam dari seorang ibu tiri. Itulah kesuksesan terbesarku ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, prestasi yang ku tuai berkat `keras’ nya didikan ibu dalam belajar. Dan ini pula lah yang menjadi awal langkah keberhasilan ku dalam meraih prestasi-prestasi di bangku sekolah kemudian.
            Ketika teman-teman SD sibuk memilih Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta maupun negeri terbaik di sekitar tempat tinggalku, untuk melanjutkan sekolahnya, saya tidak lah demikian. Rangkasbitung, sebuah kota yang berada di Kabupaten Lebak yang menjadi destinasi sekolah yang orang tua saya tuju. Ya, tujuan orang tua, bukan tujuanku. Karena sejatinya tujuanku ialah dapat bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri, bukan Pondok Pesantren. Mau tidak mau akhirnya aku harus kalah dan  mengikuti kemauan orangtuaku untuk ‘mesantren’.
Manahijussadat, itulah nama  pondok pesantrennya. Bayang bayang ketidakbetahan mulai menghantuiku di hari-hari pertama tinggal dipondok. Menangis adalah hal yang hanya bisa kulakukan kala itu. Banyak tatap mata penghuni pondok yang melihatku sering menangis tersedu-sedu. Entah apa yang mereka rasakan kala itu, kesal, iba, ataukah marah kepadaku? Aku pun tak tahu. Aku tak peduli dengan semua itu, peduliku hanya satu, yaitu pulang dan berhenti dari pondok.
Bujuk rayu guru-guru serta kakak kelas aku mulai merasuki batin ini, sedikit menggerogoti tembok kerasnya hati. Perlahan nyaman mulai terasa. Betah merekah. Isak tangis terkikis. Perlahan akal sehatku bermain. Naluriku bergumam,Dulu ketika masih SD, saya saja mampu untuk bertahan di pondok selama tiga bulan. Dan saat ini, untuk bertahan lebih dari tiga bulan saja, saya harus tak sanggup?
Gumaman itulah yang menjadi motivasi terbesar dalam diri ini untuk betah di pondok, hingga akhirnya, bukan hanya tiga bulan, akan tetapi 6 tahun bertahan di pondok bisa saya lewati. Hantaman gelombang serta badai cobaan telah dilalui dengan kesabaran dan do`a. Sekarang saya menyadari bahwa semua didikan orang tua ketika kecil dulu yang saya anggap ‘keras’ kala itu, ternyata itu semua untuk kebaikanku, untuk membentuk kepribadianku yang kuat, tekun dalam belajar, dan bertanggung jawab atas apa yang sudah dimiliki. Alhamdulillah, berkat didikan ayah dan ibuku, serta berkat do`a-do`a guru-guruku, dukungan para sahabat terbaikku, saat ini diri yang menyimpan banyak aib dan kelemahan ini bisa menyelesaikan tahap demi tahap pendidikan formalku dengan predikat yang cukup memuaskan. Mumtaz diakhir masa Aliyahku, Cumlaude di penghujung sarjanaku. Semoga penghargaan itu dapat bermanfaat untuk diriku, agama dan negara.

Dan teruntuk kalian, adik-adikku, ikuti akal sehatmu, jangan kau turuti nafsu. Sejatinya nafsu itu tak akan ada ujungnya. Mengikuti nafsu laksana seorang yang haus yang meminum air lautan. Sekali-kali tidak akan hilang rasa hausnya, meskipun ia minum seluruh air lautan. Berjuang untuk meraih apa yang kalian impikan adalah suatu keharusan. Mengharap ridho dari orang-orang yang berpengaruh dalam hidup kalian adalah sebuah pelita yang dapat menuntun langkah kalian menuju kesuksesan. Ridho Ilahi, terdapat pada ridho “Orang tua”. Bukan hanya orang tua secara biologis saja, namun guru-guru kalian pun sejatinya mereka adalah orang tua kalian. Lalu selesaikanlah apa yang sudah kalian mulai !!! Wallahu yubariku subulanaa... Aamiin.