Monday, April 11, 2016

Kesuksesan Terbesar Dalam Hidupku



Kesuksesan Terbesar Dalam Hidupku
Oleh: Muhamad Ridwan Faisal, S.Hum (Alumni, Ustadz Pontren Manahijussadat Serdang Cibadak Lebak)
 Hidup itu adalah sebuah pilihan. Pilihan antara dua hal, hidup dalam kegagalan dan kesengsaraan atau berhasil meraih manisnya kesuksesan dalam kehidupan. Jika ditanyakan kepada semua orang yang ada di muka bumi ini mana yang hendak mereka pilih, tentu semuanya ingin hidup dalam kebahagiaan yang teramat manis rasanya. Dan tak ada satupun insan di muka bumi ini yang ingin merasakan pahitnya sebuah kegagalan dalam kehidupannya. Namun, dalam mencapai kesuksesan itu tak semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi butuh perjuangan yang mutlak harus ditempuh dalam mencapainya. kesuksesan itu tak akan pernah datang menghampiri seseorang secara tiba-tiba, instan, tanpa melalui perjuangan yang nyata.
            Kesuksesan dalam segala hal merupakan cita-cita semua orang. Semuanya ingin sukses, dan tak ada satupun yang ingin gagal. Tapi semua itu perlu usaha dan tekad untuk meraihnya. Kesuksesesan tak akan datang menghampiri orang yang hanya duduk terdiam menunggunya. Kesuksesan pula tak akan pernah menyambangi orang yang terbaring nyenyak dalam kasurnya. Kesuksesan hanya akan menyapa orang orang yang memimpikannya dan berusaha untuk mewujudkan mimpinya. Kesuksesan akan menyambangi mereka yang ‘sadar’, sadar untuk terus membangun diri. Kesadaran untuk terus membangun diri adalah titik awal sebuah kesuksesan.
            Usiaku kini sudah tak lagi muda. Terlahir dari sebuah keluarga yang cukup memahami agama yang dianutnya. Mengawali sejarah pendidikanku, saya mengenyam manisnya masa kanak-kanak di RA (Raudhatul Athfal) Nurul Huda, yang berlokasi tak jauh dari rumahku, dan melanjutkan ke jenjang Sekolah Dasar kelas satu masih dikampung halaman, namun ketika duduk dikelas 2 SD, orang tuaku memindahkan pendidikan SD-ku ke sebuah pondok pesantren yang jauh dari kota kelahiran. Dengan tujuan agar aku lebih semangat lagi dalam mempelajari dan memahami ilmu-ilmu agama di sana. Sebulan, dua bulan aku coba paksakan untuk tetap bertahan menimba ilmu di ‘penjara suci’ itu, dan akhirnya perjuanganku berakhir pada bulan ketiga. Kesabaranku sudah habis, usahaku untuk mencoba betah tinggal jauh dari orang tua di pondok itu harus kandas.  Aku menyerah pada kegagalan! entahlah, apakah itu yang dinamakan sebuah kegagalan? aku pun tak tahu!.
            Aku kembali bersekolah di Sekolah Dasar dekat dengan tempat tinggalku. Teman teman lama menyapaku bahagia, dan sebagian ada yang terheran dan bertanya-tanya akan keputusanku untuk berhenti menimba ilmu di pondok pesantren kala itu. Diam adalah pilihanku kala itu karena akupun tak tahu apa alasan pasti yang menyebabkan aku harus menyerah dengan ketidak betahanku. Mungkinkah karena jauh dari orang tua ataukah karena umur seusiaku yang aku rasa terlalu ‘sadis’ untuk dipisahkan jauh dari belaian kasih sayang orang tua.
            Kegiatan belajar sudah berjalan, perlahan dan pasti saya sudah mulai kembali beradaptasi dengan lingkungan yang 3 bulan terakhir ditinggalkan. Perlahan saya mulai merancang target dalam belajar serta terus menata fokus dalam memahami setiap pelajaran yang disampaikan oleh mereka, para pahlawan tanpa jasa. Saya juga mulai berhati-hati dalam bersikap dan jangan sampai mengecewakan atau terlebih membuat marah kedua orang tua dengan perilaku saya. Karena mereka kelak akan mengembalikan saya ke pondok pesantren jika saya tidak patuh pada perintah dan mengecewakan kedua orang tua. Hal itulah yang membuat saya lebih hati-hati dalam bersikap, karena saya tidak ingin kembali ke pondok pesantren.
            Saya mulai tekun dalam belajar, bersungguh sungguh dalam menyerap segala pelajaran. Ketekunan dan kesungguhan ku dalam belajar akan semakin bertambah saat memasuki masa-masa ujian. Alhamdulillah berkat semua itu, saya selalu masuk ke 3 besar siswa dengan nilai tertinggi di kelas. Berusaha keras dalam mempertahan kan prestasi yang kuraih adalah harga mati, namun jika tidak, atau dalam hal ini jika prestasiku menurun, tak jarang 2 buah penggaris patah karena dilayangkan pada salah satu lengan tanganku oleh ibuku. Saya meyakini bahwa semua itu beliau lakukan untuk kebaikanku kelak. Walaupun pernah saya beranggapan bahwa ibu ku lebih kejam dari seorang ibu tiri. Itulah kesuksesan terbesarku ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, prestasi yang ku tuai berkat `keras’ nya didikan ibu dalam belajar. Dan ini pula lah yang menjadi awal langkah keberhasilan ku dalam meraih prestasi-prestasi di bangku sekolah kemudian.
            Ketika teman-teman SD sibuk memilih Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta maupun negeri terbaik di sekitar tempat tinggalku, untuk melanjutkan sekolahnya, saya tidak lah demikian. Rangkasbitung, sebuah kota yang berada di Kabupaten Lebak yang menjadi destinasi sekolah yang orang tua saya tuju. Ya, tujuan orang tua, bukan tujuanku. Karena sejatinya tujuanku ialah dapat bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri, bukan Pondok Pesantren. Mau tidak mau akhirnya aku harus kalah dan  mengikuti kemauan orangtuaku untuk ‘mesantren’.
Manahijussadat, itulah nama  pondok pesantrennya. Bayang bayang ketidakbetahan mulai menghantuiku di hari-hari pertama tinggal dipondok. Menangis adalah hal yang hanya bisa kulakukan kala itu. Banyak tatap mata penghuni pondok yang melihatku sering menangis tersedu-sedu. Entah apa yang mereka rasakan kala itu, kesal, iba, ataukah marah kepadaku? Aku pun tak tahu. Aku tak peduli dengan semua itu, peduliku hanya satu, yaitu pulang dan berhenti dari pondok.
Bujuk rayu guru-guru serta kakak kelas aku mulai merasuki batin ini, sedikit menggerogoti tembok kerasnya hati. Perlahan nyaman mulai terasa. Betah merekah. Isak tangis terkikis. Perlahan akal sehatku bermain. Naluriku bergumam,Dulu ketika masih SD, saya saja mampu untuk bertahan di pondok selama tiga bulan. Dan saat ini, untuk bertahan lebih dari tiga bulan saja, saya harus tak sanggup?
Gumaman itulah yang menjadi motivasi terbesar dalam diri ini untuk betah di pondok, hingga akhirnya, bukan hanya tiga bulan, akan tetapi 6 tahun bertahan di pondok bisa saya lewati. Hantaman gelombang serta badai cobaan telah dilalui dengan kesabaran dan do`a. Sekarang saya menyadari bahwa semua didikan orang tua ketika kecil dulu yang saya anggap ‘keras’ kala itu, ternyata itu semua untuk kebaikanku, untuk membentuk kepribadianku yang kuat, tekun dalam belajar, dan bertanggung jawab atas apa yang sudah dimiliki. Alhamdulillah, berkat didikan ayah dan ibuku, serta berkat do`a-do`a guru-guruku, dukungan para sahabat terbaikku, saat ini diri yang menyimpan banyak aib dan kelemahan ini bisa menyelesaikan tahap demi tahap pendidikan formalku dengan predikat yang cukup memuaskan. Mumtaz diakhir masa Aliyahku, Cumlaude di penghujung sarjanaku. Semoga penghargaan itu dapat bermanfaat untuk diriku, agama dan negara.

Dan teruntuk kalian, adik-adikku, ikuti akal sehatmu, jangan kau turuti nafsu. Sejatinya nafsu itu tak akan ada ujungnya. Mengikuti nafsu laksana seorang yang haus yang meminum air lautan. Sekali-kali tidak akan hilang rasa hausnya, meskipun ia minum seluruh air lautan. Berjuang untuk meraih apa yang kalian impikan adalah suatu keharusan. Mengharap ridho dari orang-orang yang berpengaruh dalam hidup kalian adalah sebuah pelita yang dapat menuntun langkah kalian menuju kesuksesan. Ridho Ilahi, terdapat pada ridho “Orang tua”. Bukan hanya orang tua secara biologis saja, namun guru-guru kalian pun sejatinya mereka adalah orang tua kalian. Lalu selesaikanlah apa yang sudah kalian mulai !!! Wallahu yubariku subulanaa... Aamiin.

No comments:

Post a Comment