Kesuksesan
Terbesar Dalam Hidupku
Oleh: Muhamad
Ridwan Faisal, S.Hum (Alumni, Ustadz Pontren Manahijussadat Serdang Cibadak Lebak)
Hidup itu adalah sebuah
pilihan. Pilihan antara dua hal, hidup dalam kegagalan dan kesengsaraan atau
berhasil meraih manisnya kesuksesan dalam kehidupan. Jika ditanyakan kepada semua
orang yang ada di muka bumi ini mana yang hendak mereka pilih,
tentu semuanya ingin hidup dalam kebahagiaan yang teramat manis rasanya. Dan
tak ada satupun insan di muka bumi ini yang ingin merasakan pahitnya sebuah
kegagalan dalam kehidupannya. Namun, dalam mencapai kesuksesan itu tak semudah
membalikkan telapak tangan, akan tetapi butuh perjuangan yang mutlak harus
ditempuh dalam mencapainya. kesuksesan itu tak akan pernah datang menghampiri
seseorang secara tiba-tiba, instan, tanpa melalui perjuangan yang nyata.
Kesuksesan dalam segala hal
merupakan cita-cita semua orang. Semuanya ingin sukses, dan tak ada satupun
yang ingin gagal. Tapi semua itu perlu usaha dan tekad untuk meraihnya. Kesuksesesan tak akan
datang menghampiri orang yang hanya duduk terdiam menunggunya. Kesuksesan pula tak akan
pernah menyambangi orang yang terbaring nyenyak dalam kasurnya. Kesuksesan
hanya akan menyapa orang orang yang memimpikannya dan berusaha untuk mewujudkan
mimpinya. Kesuksesan akan menyambangi mereka yang ‘sadar’, sadar untuk terus
membangun diri. Kesadaran untuk terus
membangun diri adalah titik awal sebuah kesuksesan.
Usiaku kini sudah tak lagi muda. Terlahir dari sebuah
keluarga yang cukup memahami agama yang dianutnya. Mengawali sejarah pendidikanku,
saya mengenyam manisnya masa kanak-kanak di RA (Raudhatul Athfal) Nurul Huda,
yang berlokasi tak jauh dari rumahku, dan melanjutkan ke jenjang Sekolah Dasar
kelas satu masih dikampung halaman, namun ketika duduk dikelas 2 SD, orang tuaku
memindahkan pendidikan SD-ku ke sebuah pondok pesantren yang jauh dari kota
kelahiran. Dengan tujuan agar aku lebih semangat lagi dalam mempelajari dan
memahami ilmu-ilmu agama di sana. Sebulan, dua bulan aku coba paksakan untuk tetap bertahan menimba
ilmu di ‘penjara suci’ itu, dan akhirnya perjuanganku berakhir pada bulan
ketiga. Kesabaranku sudah habis, usahaku untuk mencoba betah tinggal jauh dari
orang tua di pondok itu harus kandas. Aku
menyerah pada kegagalan! entahlah, apakah itu yang dinamakan sebuah kegagalan?
aku pun tak tahu!.
Aku kembali bersekolah di Sekolah Dasar dekat dengan
tempat tinggalku. Teman teman lama menyapaku bahagia, dan sebagian ada yang
terheran dan bertanya-tanya akan keputusanku untuk berhenti menimba ilmu di
pondok pesantren kala itu. Diam adalah pilihanku kala itu karena akupun tak
tahu apa alasan pasti yang menyebabkan aku harus menyerah dengan ketidak
betahanku. Mungkinkah karena jauh dari orang tua ataukah karena umur seusiaku
yang aku rasa terlalu ‘sadis’ untuk dipisahkan jauh dari belaian kasih sayang
orang tua.
Kegiatan belajar sudah berjalan, perlahan dan pasti saya
sudah mulai kembali beradaptasi dengan lingkungan yang 3 bulan terakhir
ditinggalkan. Perlahan saya mulai merancang target dalam belajar serta terus
menata fokus dalam memahami setiap pelajaran yang disampaikan oleh mereka, para
pahlawan tanpa jasa. Saya juga mulai berhati-hati dalam bersikap dan jangan
sampai mengecewakan atau terlebih membuat marah kedua orang tua dengan perilaku
saya. Karena mereka kelak akan mengembalikan saya ke pondok pesantren jika saya
tidak patuh pada perintah dan mengecewakan kedua orang tua. Hal itulah yang
membuat saya lebih hati-hati dalam bersikap, karena saya tidak ingin kembali ke
pondok pesantren.
Saya mulai tekun dalam belajar, bersungguh sungguh dalam
menyerap segala pelajaran. Ketekunan dan kesungguhan ku dalam belajar akan
semakin bertambah saat memasuki masa-masa ujian. Alhamdulillah berkat semua
itu, saya selalu masuk ke 3 besar siswa dengan nilai tertinggi di kelas. Berusaha keras dalam
mempertahan kan prestasi yang kuraih adalah harga mati, namun jika tidak, atau
dalam hal ini jika prestasiku menurun, tak jarang 2 buah penggaris patah karena
dilayangkan pada salah satu lengan tanganku oleh ibuku. Saya meyakini bahwa
semua itu beliau lakukan untuk kebaikanku kelak. Walaupun pernah saya
beranggapan bahwa ibu ku lebih kejam dari seorang ibu tiri. Itulah kesuksesan
terbesarku ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, prestasi yang ku tuai berkat
`keras’ nya didikan ibu dalam belajar. Dan ini pula lah yang menjadi awal
langkah keberhasilan ku dalam meraih prestasi-prestasi di bangku sekolah
kemudian.
Ketika teman-teman SD sibuk memilih Sekolah Menengah
Pertama (SMP) swasta maupun negeri terbaik di sekitar tempat tinggalku, untuk
melanjutkan sekolahnya, saya tidak lah demikian. Rangkasbitung, sebuah kota
yang berada di Kabupaten Lebak yang menjadi destinasi sekolah yang orang tua
saya tuju. Ya, tujuan orang tua, bukan tujuanku. Karena sejatinya tujuanku
ialah dapat bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri, bukan Pondok
Pesantren. Mau tidak mau akhirnya aku harus kalah dan mengikuti kemauan orangtuaku untuk
‘mesantren’.
Manahijussadat, itulah nama pondok pesantrennya. Bayang bayang ketidakbetahan
mulai menghantuiku di hari-hari pertama tinggal dipondok. Menangis adalah hal
yang hanya bisa kulakukan kala itu. Banyak tatap mata penghuni pondok yang
melihatku sering menangis tersedu-sedu. Entah apa yang mereka rasakan kala itu,
kesal, iba, ataukah marah kepadaku? Aku pun tak tahu. Aku tak peduli dengan
semua itu, peduliku hanya satu, yaitu pulang dan berhenti dari pondok.
Bujuk rayu guru-guru serta
kakak kelas aku mulai merasuki batin ini, sedikit menggerogoti tembok kerasnya hati.
Perlahan nyaman mulai terasa. Betah merekah. Isak tangis terkikis. Perlahan
akal sehatku bermain. Naluriku bergumam, “Dulu ketika masih SD, saya
saja mampu untuk bertahan di pondok selama tiga bulan. Dan saat ini, untuk bertahan lebih dari tiga
bulan saja, saya harus tak sanggup?
Gumaman itulah yang menjadi
motivasi terbesar dalam diri ini untuk betah di pondok, hingga akhirnya, bukan
hanya tiga bulan, akan tetapi 6 tahun bertahan di pondok bisa saya lewati. Hantaman
gelombang serta badai cobaan telah dilalui dengan kesabaran dan do`a. Sekarang
saya menyadari bahwa semua didikan orang tua ketika kecil dulu yang saya anggap
‘keras’ kala itu, ternyata itu semua untuk kebaikanku, untuk membentuk
kepribadianku yang kuat, tekun dalam belajar, dan bertanggung jawab atas apa
yang sudah dimiliki. Alhamdulillah, berkat didikan ayah dan ibuku, serta berkat
do`a-do`a guru-guruku, dukungan para sahabat terbaikku, saat ini diri yang
menyimpan banyak aib dan kelemahan ini bisa menyelesaikan tahap demi tahap
pendidikan formalku dengan predikat yang cukup memuaskan. Mumtaz diakhir masa
Aliyahku, Cumlaude di penghujung sarjanaku. Semoga penghargaan itu dapat
bermanfaat untuk diriku, agama dan negara.
Dan teruntuk kalian, adik-adikku, ikuti akal sehatmu, jangan kau turuti nafsu. Sejatinya nafsu itu tak akan ada ujungnya. Mengikuti nafsu laksana seorang yang haus yang meminum air lautan. Sekali-kali tidak akan hilang rasa hausnya, meskipun ia minum seluruh air lautan. Berjuang untuk meraih apa yang kalian impikan adalah suatu keharusan. Mengharap ridho dari orang-orang yang berpengaruh dalam hidup kalian adalah sebuah pelita yang dapat menuntun langkah kalian menuju kesuksesan. Ridho Ilahi, terdapat pada ridho “Orang tua”. Bukan hanya orang tua secara biologis saja, namun guru-guru kalian pun sejatinya mereka adalah orang tua kalian. Lalu selesaikanlah apa yang sudah kalian mulai !!! Wallahu yubariku subulanaa... Aamiin.
No comments:
Post a Comment