Monday, April 11, 2016

Tradisi Santri dan Budaya Ngantri



Tradisi Santri dan Budaya Ngantri
Oleh: Nanang Haikal Maulana SHi, MA

Lima Karakter Santri
Banyak para ilmuwan yang memberikan definisi tentang santri, untuk itu kita itu akan mencoba memberikan pemaknaan secara filosofis sesuai dengan tradisi dan karakter santri dan bisa memaknai ulang kata santri dalam bentuk yang lebih operatif. Santri terdiri dari kelima huruf: sin, nun, ta, ra, dan ya. Kelima huruf ini merupakan awal dari karakter yang harus dimiliki seorang santri.

Sin atau S sebagai huruf pertama pada kata santri dapat dimaknai sebagai perilaku  salima, salama. Salima salama berarti tunduk, patuh, selamat, memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Bahkan alam raya di sekitarnya pun mendapatkan keselamatan dari perilaku seorang santri. Inilah karakter pertama seorang santri, terus-menerus menyelamatkan diri dari akhlak yang buruk setelah itu ia akan menyelamatkan orang lain dari akhlak yang buruk.
Nun atau huruf N, bisa berarti nur, yang berarti cahaya. Nur dalam al-Quran dikaitkan dengan Cahaya Ilahiah, seperti firman Allah dalam Surat an-Nur: Allahu nurussamawati wal ardl, “Allah adalah yang mencahayai langit dan bumi”. Sementara pada banyak hadits, nur dikaitkan dengan cahaya ilmu, seperti hadits al-‘ilmu nurun.Karakter kedua pada kata santri ini menunjukkan isi dari pribadi santri. Isi kepala dan hati seorang santri adalah cahaya ilahiah dan cahaya ilmu, bukan yang lainnya. Kalau seorang santri dibedah, darahnya adalah cahaya, isi kepalanya adalah cahaya, demikian pun isi perutnya: semuanya cahaya. Hal ini dapat terjadi karena kerjaan utama seorang santri adalah belajar, mengajar, membaca, dan menulis.

Seorang santri memiliki tradisi mencium tangan ulama ketika bersalaman, mencium al-Quran juga kitab sebelum dan sesudah membacanya, semuanya itu karena cahaya. Jadi, yang dicium dari lengan kyai bukan lengannya namun cahaya ilmunya. Lengan ulama itu adalah lengan yang terus bersentuhan dengan al-Quran dan kitab-kitab, karena itu lengannya dipenuhi pendaran cahaya ilahiah dan cahaya ilmu. Maka bukan lengan itu yang dicium, melainkan cahaya keilmuan dan cahaya ilahiah yang dicium. 
Ta atau huruf (T) dapat berarti taabi’ al-‘ulama, berarti menjadi pengikut ulama. Ini karakter yang ketiga, yakni menjadikan ulama sebagai model, sebagai idola hidupnya. Seorang santri tidak mengidolakan para selebriti, atau pemain bola, apalagi politisi. Seorang santri terus mengidolakan ulamanya, menginginkan dirinya hidup dan menjalankan hidup seperti ulamanya. Bagi santri, tak ada yang lebih hebat dari pada ulamanya, karena memang demikianlah kenyataannya. Dari ulama inilah seorang santri mendapatkan pasokan “cahaya ilahiah” dan “cahaya ilmu”; dari ulama juga seorang santri dapat menemukan model bagaimana memberikan keselamatan dan kedamaian pada orang-orang di sekitarnya.  Jika sumber cahayanya adalah ulama, layaklah ulama itu dimuliakan, karena ulama merupakan pewaris para Nabi, (al’ulamaau warosatu al anbiyaau)
Ulama adalah sumber mata air, sumber kesucian. Jika sumber tak ada, tak akan ada air dan cahaya.  Untuk itulah dunia pesantren ditandai oleh adanya ulama dan santri, juga sikap penghormatan kepada ulama. Dunia Islam pun seharusnya demikian, ulamalah yang harus dihormati dan diteladani. Tak ada yang harus dijaga kecuali ulama.
Ra atau huruf R, merupakan kependekan dari  ri’ayah, berarti “mengasuh, mengayomi atau menggembala”. Seorang santri pada awalnya adalah “gembalaan” (ra’iyah) dari sang penggembala (ra’in), yakni ulama dan para pengasuh. Santri dijaga, diarahkan, dinasehati, kadang-kadang pada kondisi tertentu diberikan hukuman agar ia terjaga dari hal-hal yang subhat –apalagi yang haram.  Pada saat di pesantren, seorang santri harus terus di bawah pengendalian penggembalanya, yakni ulamanya. Baru kemudian setelah dianggap lulus dan memiliki kenaikan karakter yang mulia, seperti penggembalanya, ia akan dilepas di tengah masyarakat. Saat berada di tengah masyarakat itulah, seorang santri memiliki tugas baru yakni “mengasuh atau menggembala” dirinya dan masyarakat. Salah satu karakter penggembala adalah dia rela tubuhnya terbakar matahari dan lusuh dibawah deras hujan asal gembalaannya bisa makan dan aman dari berbagai gangguan.
Ya atau huruf Y  dapat berarti yaqadza, berarti yang terbangun kesadarannya. Seorang santri adalah orang yang terus-menerus mengondisikan kesadarannya “bangun”, tidak pingsan. Sementara orang-orang lain, anak-anak seumur santri, menjalankan kehidupan tanpa sadar mengikuti kebudayaan yang mencelakakan dirinya, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, seorang santri menjalani hidupnya dengan penuh sadar, yakni  mencintai ilmu.
Kelima karakter inilah yang harus menjadi kepribadian seorang santri. Jika dibuat menjadi satu kalmiat, seorang santri adalah seseorang yang menampilkan diri sebagai orang yang menyelamatkan kehidupan (salama) dengan cahaya keilmuan dan keilahian (nur ilahiah dan nur ilmiah) yang dimilikinya, yang terus menjunjung tinggi muru’ah ulama dan ilmu (tabi’ al-‘ulama), karena itu ia akan mengasuh ummat (ri’ayah al-ummah) agar terus-menerus terjaga kesadarannya.
Santri dan Tradisi Ngantri
            Santri hidup di pesantren, bersamaan dengan banyak orang,  banyak kepentingan, banyak kebiasaan. Semua itu harus dijalani dengan baik. Konon, itulah miniatur kehidupan. Kehidupan penuh dengan pelbagai kepentingan dan kita harus dapat mewarnai kehidupan itu dengan nilai-nilai kesantrian. Maka nikmatilah suasana pesantren, bukan untuk dikeluhkan namun dijadikan sekolah kehidupan.

            Salah satu fenomena yang didapatkan di dunia pesantren adalah ngantre Sebabnya mudah ditebak. Fasilitas terbatas, jumlah orang sangat banyak. Otomatis harus ngantri. Demikian pula dalam kehidupan yang sebenarnya, fasilitas tak pernah tersedia sama banyaknya dengan orang yang membutuhkan. Selalu kurang, dan membutuhkan tradisi ngantri. Jadi, kalau di pesantren terbiasa ngantri, di dunia kehidupan sangat dibutuhkan agar santri terbiasa dengan ngantri. Tidak sekadar ngantri tetapi juga sanggup memaknainya sehingga mendapatkan pahala dan hikmah.
            Ngantri secara vokal agak mirip dengan nyantri. Memang seorang santri haruslah sanggup, mampu, terbiasa, sanggup bersabar, dan bersyukur pada saat ngantri. Dasarnya adalah rukun ibadah. Seorang santri tentu mengetahui bahwa pada beberapa rukun ibadah mahdhah, seperti wudlu, shalat, haji, memiliki salah satu rukun yang tidak ada aktivitasnya namun jika tidak dilakukan akan membatalkan semua aktivitas lainnya. Rukun wudlu yang terkait aktivitas adalah niat, mencuci muka, membasuh tangan, membasahi rambut, dan mengusap  kaki. Lalu ada satu rukun lagi yang tanpa aktivitas, yaitu tartib atau melaksanakan urut-urutan kegiatan sesuai dengan tata aturan. Jika pelaksanaan kegiatan wudlu   tidak tartib, batallah semuanya. Tartib inilah asal dari tradisi ngantri.
            Seorang santri akan menjalankan seluruh kehidupannya dengan tartib. Allah menciptakan jin dan manusia untuk beribadah. Seluruh kehidupan, apapun itu baik membeli karcis, mandi, BAB, makan, adalah ibadah. Rukun utama dalam ibadah sehari-hari adalah niat dan tartib.  Niat harus didasarkan hanya untuk mencari keridlaan Allah, sedangkan tartib adalah menghargai dan menjalankan tata aturan dengan baik. Jika tanpa kedua rukun itu, makan, mandi, BAB dan sejenisnya tidak akan bernilai ibadah.
Keseharian Pesantren yang bisa jadi dianggap menyebalkan, karena segala sesuatu harus dilakukan dengan ngantri, sebenarnya sedang mengajarkan realitas kehidupan. Yaitu ngantri atau tartib. Seorang santri, dengan demikian, adalah orang yang sanggup tertib di tengah masyarakat, menghargai siapa yang dulu siapa yang kemudian. Dengan ngantri setiap hari di pesantren, maka para santri akan terbiasa dan merasa nyaman saat mengantri dalam kehidupan.
 Pada titik ini kita bisa memaknai bahwa huruf Ta pada kata S-A-N-T-R-I adalah Tartib. Jadi huruf Ta bukan sekadar Tabi’ al-‘Ulama namun juga tartib dalam kehidupan. Siapa yang tartib dalam kehidupan, ia akan mendapatkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. (*)

Penulis adalah Dosen Filsafat dan Aqidah (theology) di Fakultas Fisip UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung,  juga aktif di berbagai organisasi keagamaan dan kepemudaan.

No comments:

Post a Comment