Tradisi
Santri dan Budaya Ngantri
Oleh: Nanang Haikal Maulana SHi, MA
Lima
Karakter Santri
Banyak para ilmuwan yang memberikan definisi tentang
santri, untuk itu kita itu akan mencoba memberikan pemaknaan secara filosofis
sesuai dengan tradisi dan karakter santri dan bisa memaknai ulang kata santri
dalam bentuk yang lebih operatif. Santri terdiri dari kelima huruf: sin,
nun, ta, ra, dan ya. Kelima huruf ini merupakan awal dari karakter
yang harus dimiliki seorang santri.
Sin atau S sebagai huruf pertama pada kata santri
dapat dimaknai sebagai perilaku salima, salama. Salima salama berarti
tunduk, patuh, selamat, memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada diri
sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Bahkan alam raya di sekitarnya pun
mendapatkan keselamatan dari perilaku seorang santri. Inilah karakter pertama
seorang santri, terus-menerus menyelamatkan diri dari akhlak yang buruk setelah
itu ia akan menyelamatkan orang lain dari akhlak yang buruk.
Nun atau huruf N, bisa berarti nur,
yang berarti cahaya. Nur dalam al-Quran dikaitkan dengan Cahaya Ilahiah,
seperti firman Allah dalam Surat an-Nur: Allahu nurussamawati wal ardl,
“Allah adalah yang mencahayai langit dan bumi”. Sementara pada banyak hadits,
nur dikaitkan dengan cahaya ilmu, seperti hadits al-‘ilmu nurun.Karakter
kedua pada kata santri ini menunjukkan isi dari pribadi santri. Isi kepala dan
hati seorang santri adalah cahaya ilahiah dan cahaya ilmu, bukan yang lainnya.
Kalau seorang santri dibedah, darahnya adalah cahaya, isi kepalanya adalah
cahaya, demikian pun isi perutnya: semuanya cahaya. Hal ini dapat terjadi
karena kerjaan utama seorang santri adalah belajar, mengajar, membaca, dan
menulis.
Seorang santri memiliki tradisi mencium tangan ulama
ketika bersalaman, mencium al-Quran juga kitab sebelum dan sesudah membacanya,
semuanya itu karena cahaya. Jadi, yang dicium dari lengan kyai bukan lengannya
namun cahaya ilmunya. Lengan ulama itu adalah lengan yang terus bersentuhan
dengan al-Quran dan kitab-kitab, karena itu lengannya dipenuhi pendaran cahaya
ilahiah dan cahaya ilmu. Maka bukan lengan itu yang dicium, melainkan cahaya
keilmuan dan cahaya ilahiah yang dicium.
Ta atau huruf (T) dapat berarti taabi’
al-‘ulama, berarti menjadi pengikut ulama. Ini karakter yang ketiga, yakni
menjadikan ulama sebagai model, sebagai idola hidupnya. Seorang santri tidak
mengidolakan para selebriti, atau pemain bola, apalagi politisi. Seorang santri
terus mengidolakan ulamanya, menginginkan dirinya hidup dan menjalankan hidup
seperti ulamanya. Bagi santri, tak ada yang lebih hebat dari pada ulamanya,
karena memang demikianlah kenyataannya. Dari ulama inilah seorang santri
mendapatkan pasokan “cahaya ilahiah” dan “cahaya ilmu”; dari ulama juga seorang
santri dapat menemukan model bagaimana memberikan keselamatan dan kedamaian
pada orang-orang di sekitarnya. Jika
sumber cahayanya adalah ulama, layaklah ulama itu dimuliakan, karena ulama
merupakan pewaris para Nabi, (al’ulamaau warosatu al anbiyaau)
Ulama adalah sumber mata air, sumber kesucian. Jika
sumber tak ada, tak akan ada air dan cahaya.
Untuk itulah dunia pesantren ditandai oleh adanya ulama dan santri, juga
sikap penghormatan kepada ulama. Dunia Islam pun seharusnya demikian, ulamalah
yang harus dihormati dan diteladani. Tak ada yang harus dijaga kecuali ulama.
Ra atau huruf R, merupakan
kependekan dari ri’ayah, berarti “mengasuh,
mengayomi atau menggembala”. Seorang santri pada awalnya adalah “gembalaan” (ra’iyah)
dari sang penggembala (ra’in), yakni ulama dan para pengasuh. Santri
dijaga, diarahkan, dinasehati, kadang-kadang pada kondisi tertentu diberikan
hukuman agar ia terjaga dari hal-hal yang subhat –apalagi yang haram. Pada saat di pesantren, seorang santri harus
terus di bawah pengendalian penggembalanya, yakni ulamanya. Baru kemudian
setelah dianggap lulus dan memiliki kenaikan karakter yang mulia, seperti
penggembalanya, ia akan dilepas di tengah masyarakat. Saat berada di tengah
masyarakat itulah, seorang santri memiliki tugas baru yakni “mengasuh atau
menggembala” dirinya dan masyarakat. Salah satu karakter penggembala adalah dia
rela tubuhnya terbakar matahari dan lusuh dibawah deras hujan asal gembalaannya
bisa makan dan aman dari berbagai gangguan.
Ya atau huruf Y dapat berarti yaqadza, berarti yang
terbangun kesadarannya. Seorang santri adalah orang yang terus-menerus
mengondisikan kesadarannya “bangun”, tidak pingsan. Sementara orang-orang lain,
anak-anak seumur santri, menjalankan kehidupan tanpa sadar mengikuti kebudayaan
yang mencelakakan dirinya, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, seorang
santri menjalani hidupnya dengan penuh sadar, yakni mencintai ilmu.
Kelima karakter inilah yang harus menjadi kepribadian
seorang santri. Jika dibuat menjadi satu kalmiat, seorang santri adalah
seseorang yang menampilkan diri sebagai orang yang menyelamatkan kehidupan (salama)
dengan cahaya keilmuan dan keilahian (nur ilahiah dan nur ilmiah)
yang dimilikinya, yang terus menjunjung tinggi muru’ah ulama dan ilmu (tabi’
al-‘ulama), karena itu ia akan mengasuh ummat (ri’ayah al-ummah) agar
terus-menerus terjaga kesadarannya.
Santri dan Tradisi Ngantri
Santri hidup di pesantren, bersamaan
dengan banyak orang, banyak kepentingan,
banyak kebiasaan. Semua itu harus dijalani dengan baik. Konon, itulah miniatur
kehidupan. Kehidupan penuh dengan pelbagai kepentingan dan kita harus dapat
mewarnai kehidupan itu dengan nilai-nilai kesantrian. Maka nikmatilah suasana
pesantren, bukan untuk dikeluhkan namun dijadikan sekolah kehidupan.
Salah satu fenomena yang didapatkan
di dunia pesantren adalah ngantre Sebabnya mudah ditebak. Fasilitas terbatas,
jumlah orang sangat banyak. Otomatis harus ngantri. Demikian pula dalam
kehidupan yang sebenarnya, fasilitas tak pernah tersedia sama banyaknya dengan
orang yang membutuhkan. Selalu kurang, dan membutuhkan tradisi ngantri.
Jadi, kalau di pesantren terbiasa ngantri, di dunia kehidupan sangat
dibutuhkan agar santri terbiasa dengan ngantri. Tidak sekadar ngantri
tetapi juga sanggup memaknainya sehingga mendapatkan pahala dan hikmah.
Ngantri secara vokal agak mirip dengan nyantri. Memang seorang
santri haruslah sanggup, mampu, terbiasa, sanggup bersabar, dan bersyukur pada
saat ngantri. Dasarnya adalah rukun ibadah. Seorang santri tentu
mengetahui bahwa pada beberapa rukun ibadah mahdhah, seperti wudlu,
shalat, haji, memiliki salah satu rukun yang tidak ada aktivitasnya namun jika
tidak dilakukan akan membatalkan semua aktivitas lainnya. Rukun wudlu yang
terkait aktivitas adalah niat, mencuci muka, membasuh tangan, membasahi rambut,
dan mengusap kaki. Lalu ada satu rukun
lagi yang tanpa aktivitas, yaitu tartib atau melaksanakan urut-urutan kegiatan
sesuai dengan tata aturan. Jika pelaksanaan kegiatan wudlu tidak
tartib, batallah semuanya. Tartib inilah asal dari tradisi ngantri.
Seorang santri akan menjalankan
seluruh kehidupannya dengan tartib. Allah menciptakan jin dan manusia
untuk beribadah. Seluruh kehidupan, apapun itu baik membeli karcis, mandi, BAB,
makan, adalah ibadah. Rukun utama dalam ibadah sehari-hari adalah niat
dan tartib. Niat harus didasarkan
hanya untuk mencari keridlaan Allah, sedangkan tartib adalah menghargai dan
menjalankan tata aturan dengan baik. Jika tanpa kedua rukun itu, makan, mandi,
BAB dan sejenisnya tidak akan bernilai ibadah.
Keseharian Pesantren yang bisa jadi dianggap menyebalkan, karena
segala sesuatu harus dilakukan dengan ngantri, sebenarnya sedang mengajarkan
realitas kehidupan. Yaitu ngantri atau tartib. Seorang santri, dengan demikian,
adalah orang yang sanggup tertib di tengah masyarakat, menghargai siapa yang
dulu siapa yang kemudian. Dengan ngantri setiap hari di pesantren, maka para
santri akan terbiasa dan merasa nyaman saat mengantri dalam kehidupan.
Pada titik ini kita bisa memaknai
bahwa huruf Ta pada kata S-A-N-T-R-I adalah Tartib. Jadi huruf Ta bukan
sekadar Tabi’ al-‘Ulama namun juga tartib dalam kehidupan. Siapa yang tartib
dalam kehidupan, ia akan mendapatkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan.
(*)
Penulis adalah Dosen
Filsafat dan Aqidah (theology) di Fakultas Fisip UIN Sunan Gunung Djati (SGD)
Bandung, juga aktif di berbagai
organisasi keagamaan dan kepemudaan.