Sholat dan
Moralitas
Oleh
: Drs. KH. Sulaiman Effendi, M.Pd.I
(Pengasuh Pondok Pesantren Modern Manahijussadat Serdang)
Akhir-akhir ini kita disuguhi beragam berita sarat kejahatan baik
secara individu maupun kelompok, seperti pencurian dengan kekerasan, perampokan
dan pembegalan, gank motor, miras dan narkoba, pemerkosaan, hingga kejahatan
korupsi yang semakin akut. Belum lagi penyimpangan perilaku di kalangan pelajar
mulai dari tawuran, pesta bikini dan lain-lain sungguh sangat mengiris hati. Semua itu menunjukkan
krisis moral dan iman di kalangan masyarakat.
Upaya menanggulangi persoalan tersebut dibutuhkan solusi yang jitu,
dengan kembali ke ajaran agama Islam, salah satunya melalui pelaksanaan shalat
yang baik dan benar. Sebab ibadah shalat yang benar akan mencegah seseorang
dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman Allah dalam surat ayat
al-Ankabut ayat 45, “Dan dirikanlah salat, sesungguhnya salat mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar”
Shalat merupakan indikator baik buruknya perilaku seorang yang
mengerjakannya, jika baik salat seseorang maka baik pula seluruh amalnya, jika
buruk salatnya maka buruk pula seluruh amalnya. Sebagaimana sabda Rasulullah
saw,“Yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat nanti
adalah ibadah shalatnya, apabila baik shalatnya maka baik pula seluruh amal
ibadahnya, apabila buruk shalatnya maka buruk pula seluruh amalnya.”(H.R. Muslim).
Ada beberapa alasan mengapa shalat menjadi indikator baik buruk
amal seseorang, pertama, shalat merupakan tiang agama, jika baik shalat
seseorang maka semakin kokoh pula kualitas agama dan moralitasnya. Kedua, shalat
merupakan ibadah sarat dengan nilai kejujuran, etos kerja yang tinggi,
istiqomah, kedisiplinan, kebersihan dan ketertiban, kesetaraan dan solidaritas.
Ketiga, shalat merupakan sarana mi’raj dan komunikasi seorang yang dapat memusatkan jiwa dan fikirannya kepada sang Kholik. Agar dapat bersujud, bersyukur, dan memohon
pertolongan kepada-Nya.
Ketika seorang hamba banyak melakukan komunikasi dengan Tuhan,
maka keimanan dan kecintaannya akan semakin bertambah. Demikian pula seseorang
melakukan ibadah karena cinta maka sempurnalah ibadahnya. Karena bagi dirinya Allah adalah segala-galanya. Sebagaimana
kecintaan nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada Allah SWT mendorongnya mengorbankan
dirinya dan seluruh yang ia cintai termasuk anaknya sendiri.
Sekarang kita melihat fenomena di mana shalat seolah
tidak berpengaruh terhadap perilaku dan moral orang yang mengerjakannya, ketika
seseorang melakukan shalat, tapi di lain waktu dia tetap berbuat maksiat, korupsi,
menghina orang lain, berbuat zalim terhadap sesama, memakan harta yang bukan
haknya, dan perbuatan buruk lainnya. Sehingga buah dari ibadah shalat tidak
tercapai.
Ada beberapa sebab mengapa seseorang tidak mampu memetik
buah dari ibadah shalat, pertama, shalat hanya dianggap sebuah kewajiban bahkan
beban bagi dirinya, ketika seseorang melaksanakan ibadah shalat hanya karena
kewajiban maka nikmat ibadah shalat tidak mampu diraih apalagi buahnya, karena
kita seharusnya mengerjakan hal yang kita cintai dan mencintai apa yang kita
kerjakan "do what you love and love
what you do".
Kedua, shalat tidak dijadikan sebuah kebutuhan. Bagi
yang menganggap shalat bukan kebutuhan maka terasa berat baginya, tapi bagi
orang yang khusyu’ dan menganggap shalat merupakan kebutuhan maka ia akan
berusaha mengerjakannya dengan maksimal dan senang hati.“Dan (salat) itu
sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”(Q.S. 2:45)
Ketiga, karena
salat tidak dijadikan sarana komunikasi dengan Rabb (Tuhan). Ketika seorang ingin jabatannya naik maka
dia akan selalu berusaha melakukan komunikasi dan pendekatan pada atasannya. Ketika
seorang murid ingin sukses dalam belajar maka dia selalu berusaha “berteman”
dengan gurunya suhabtul ustadz. Demikian juga bila seseorang ingin dinaikkan derajatnya di sisi Allah tidak
ada jalan lain kecuali dekat dengan-Nya
melalui shalat.
Agar ibadah shalat dapat berpengaruh terhadap moral dan
kehidupan seseorang maka hal-hal yang harus dilakukan adalah pertama, pahami
dan hayati bacaan shalat dengan belajar bahasa Arab baik formal maupun
nonformal. Sebab belajar bahasa Arab menurut Ibnu Taimiyah adalah kewajiban.
Sebagaimana kita ketahui bahasa Arab
adalah bahasa al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup setiap muslim.
Kedua, jadikan
shalat sebagai sarana dialog
dengan Allah, maka akan timbul ihsan dan itulah makna khusyu’ dalam shalat. Karena shalat iru berat kecuali bagi
orang yang khusyu’ dalam shalatnya.
Bila seseorang menikmati shalat yang ia kerjakan maka ia merasa berdialog
langsung dengan Allah, seolah-olah ia melihat-Nya, kalaupun ia tidak bisa
melihat-Nya maka ia akan merasa diawasi dan dilihat oleh-Nya.”Sembahlah
Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”.
Ketiga, laksanakan shalat tepat waktu dengan berjamaah,
karena ketika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat maka sesungguhnya ia
telah bersaksi bahwa tidak ada yang lebih penting kecuali Allah dan Rasul-Nya,
maka ketika azan berkumandang, ia akan bersegera ke masjid melaksanakan shalat
karena ia berkeyakinan bahwa tidak ada yang lebih penting di atas perintah
Allah SWT. Termasuk
pelaksanaan sholat berjamaah menjadi tolak ukur kekuatan ummat Islam.
Jika shalat
dilaksanakan dengan baik dan benar juga dengan sepenuh hati tidak karena
terpaksa, maka ibadah tersebut dapat melindungi dan
menghindari seseorang dari berbuat dosa dan
maksiat. Tidak akan ada pemimpin yang zalim, tidak ada pejabat yang korup dan
memiliki moralitas buruk, tidak akan ada tawuran antar pelajar, tidak akan ada
lagi pegawai yang bolos dan terlambat masuk kantor, tidak ada lagi santri yang
melanggar disiplin pesantren, tidak ada lagi guru atau ustadz yang hanya
mengajar tapi tidak mendidik, tidak ada lagi petani dan nelayan yang putus asa,
tidak ada lagi dan tidak ada lagi hal-hal buruk lainnya.
Karena seseorang yang benar shalatnya hanya karena Allah
akan malu melanggar perintah-Nya. Sejatinya shalat menjadi medium penyerahan diri secara totalitas, hidup dan mati kepada Sang pencipta, Allah ta’ala.“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya
untuk Allah Tuhan semesta alam”. Wallahu’alam
bishowab.
No comments:
Post a Comment