Monday, March 28, 2016

Sholat



Sholat dan Moralitas
Oleh : Drs. KH. Sulaiman Effendi, M.Pd.I
(Pengasuh Pondok Pesantren Modern Manahijussadat Serdang)



Akhir-akhir ini kita disuguhi beragam berita sarat kejahatan baik secara individu maupun kelompok, seperti pencurian dengan kekerasan, perampokan dan pembegalan, gank motor, miras dan narkoba, pemerkosaan, hingga kejahatan korupsi yang semakin akut. Belum lagi penyimpangan perilaku di kalangan pelajar mulai dari tawuran, pesta bikini dan lain-lain sungguh sangat mengiris hati. Semua itu menunjukkan krisis moral dan iman di kalangan masyarakat.
Upaya menanggulangi persoalan tersebut dibutuhkan solusi yang jitu, dengan kembali ke ajaran agama Islam, salah satunya melalui pelaksanaan shalat yang baik dan benar. Sebab ibadah shalat yang benar akan mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana firman Allah dalam surat ayat al-Ankabut ayat 45, “Dan dirikanlah salat, sesungguhnya salat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”
Shalat merupakan indikator baik buruknya perilaku seorang yang mengerjakannya, jika baik salat seseorang maka baik pula seluruh amalnya, jika buruk salatnya maka buruk pula seluruh amalnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw,“Yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat nanti adalah ibadah shalatnya, apabila baik shalatnya maka baik pula seluruh amal ibadahnya, apabila buruk shalatnya maka buruk pula seluruh amalnya.”(H.R. Muslim).
Ada beberapa alasan mengapa shalat menjadi indikator baik buruk amal seseorang, pertama, shalat merupakan tiang agama, jika baik shalat seseorang maka semakin kokoh pula kualitas agama dan moralitasnya. Kedua, shalat merupakan ibadah sarat dengan nilai kejujuran, etos kerja yang tinggi, istiqomah, kedisiplinan, kebersihan dan ketertiban, kesetaraan dan solidaritas. Ketiga, shalat merupakan sarana mi’raj dan komunikasi seorang  yang dapat memusatkan jiwa dan fikirannya kepada sang Kholik. Agar dapat bersujud, bersyukur, dan memohon pertolongan kepada-Nya.
Ketika seorang hamba banyak melakukan komunikasi dengan Tuhan, maka keimanan dan kecintaannya akan semakin bertambah. Demikian pula seseorang melakukan ibadah karena cinta maka sempurnalah ibadahnya. Karena  bagi dirinya Allah adalah segala-galanya. Sebagaimana kecintaan nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada Allah SWT mendorongnya mengorbankan dirinya dan seluruh yang ia cintai termasuk anaknya sendiri.




  Sekarang kita melihat fenomena di mana shalat seolah tidak berpengaruh terhadap perilaku dan moral orang yang mengerjakannya, ketika seseorang melakukan shalat, tapi di lain waktu dia tetap berbuat maksiat, korupsi, menghina orang lain, berbuat zalim terhadap sesama, memakan harta yang bukan haknya, dan perbuatan buruk lainnya. Sehingga buah dari ibadah shalat tidak tercapai.
Ada beberapa sebab mengapa seseorang tidak mampu memetik buah dari ibadah shalat, pertama, shalat hanya dianggap sebuah kewajiban bahkan beban bagi dirinya, ketika seseorang melaksanakan ibadah shalat hanya karena kewajiban maka nikmat ibadah shalat tidak mampu diraih apalagi buahnya, karena kita seharusnya mengerjakan hal yang kita cintai dan mencintai apa yang kita kerjakan "do what you love and love what you do".
Kedua, shalat tidak dijadikan sebuah kebutuhan. Bagi yang menganggap shalat bukan kebutuhan maka terasa berat baginya, tapi bagi orang yang khusyu’ dan menganggap shalat merupakan kebutuhan maka ia akan berusaha mengerjakannya dengan maksimal dan senang hati.“Dan (salat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”(Q.S. 2:45)
Ketiga, karena salat tidak dijadikan sarana komunikasi dengan Rabb (Tuhan). Ketika seorang ingin jabatannya naik maka dia akan selalu berusaha melakukan komunikasi dan pendekatan pada atasannya. Ketika seorang murid ingin sukses dalam belajar maka dia selalu berusaha “berteman” dengan gurunya suhabtul ustadz. Demikian juga bila seseorang ingin dinaikkan derajatnya di sisi Allah tidak ada jalan lain kecuali dekat dengan-Nya melalui shalat.
Agar ibadah shalat dapat berpengaruh terhadap moral dan kehidupan seseorang maka hal-hal yang harus dilakukan adalah pertama, pahami dan hayati bacaan shalat dengan   belajar bahasa Arab baik formal maupun nonformal. Sebab belajar bahasa Arab menurut Ibnu Taimiyah adalah kewajiban. Sebagaimana  kita ketahui bahasa Arab adalah bahasa al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup setiap muslim.
Kedua, jadikan shalat sebagai sarana dialog dengan Allah, maka akan timbul ihsan dan itulah makna khusyu’ dalam shalat. Karena shalat iru berat kecuali bagi orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Bila seseorang menikmati shalat yang ia kerjakan maka ia merasa berdialog langsung dengan Allah, seolah-olah ia melihat-Nya, kalaupun ia tidak bisa melihat-Nya maka ia akan merasa diawasi dan dilihat oleh-Nya.”Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya,  maka sesungguhnya Dia melihatmu”.
Ketiga, laksanakan shalat tepat waktu dengan berjamaah, karena ketika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat maka sesungguhnya ia telah bersaksi bahwa tidak ada yang lebih penting kecuali Allah dan Rasul-Nya, maka ketika azan berkumandang, ia akan bersegera ke masjid melaksanakan shalat karena ia berkeyakinan bahwa tidak ada yang lebih penting di atas perintah Allah SWT. Termasuk pelaksanaan sholat berjamaah menjadi tolak ukur kekuatan ummat Islam.
            Jika shalat dilaksanakan dengan baik dan benar juga dengan sepenuh hati tidak karena terpaksa, maka ibadah tersebut dapat melindungi dan menghindari seseorang dari  berbuat dosa dan maksiat. Tidak akan ada pemimpin yang zalim, tidak ada pejabat yang korup dan memiliki moralitas buruk, tidak akan ada tawuran antar pelajar, tidak akan ada lagi pegawai yang bolos dan terlambat masuk kantor, tidak ada lagi santri yang melanggar disiplin pesantren, tidak ada lagi guru atau ustadz yang hanya mengajar tapi tidak mendidik, tidak ada lagi petani dan nelayan yang putus asa, tidak ada lagi dan tidak ada lagi hal-hal buruk lainnya.
Karena seseorang yang benar shalatnya hanya karena Allah akan malu melanggar perintah-Nya. Sejatinya shalat menjadi medium  penyerahan diri secara totalitas, hidup dan mati kepada Sang pencipta, Allah ta’ala.“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam”. Wallahu’alam bishowab.


No comments:

Post a Comment