KH Samson Rahman MA:
Kita Harus Berpikir Visioner
Salah satu sejarah penting di dalam ajaran
Islam adalah hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Kota Makkah hingga Madinah,
sebagai misi dakwah dan politiknya untuk menyebarkan misi Islam dan membangun
sistem sosial masyarakat di Madinah yang sangat beragam. Inti makna hijrah
sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW bahwa Orang hijrah adalah yang
meninggalkan segala yang dilarang Allah
SWT. (HR Ahmad). Bagaimana mengimplementasikan makna hijrah dalam kehidupan,
berikut petikan wawancara ustaz Ma’zumi dari Majalah Sabrina Pondok Pesantren Manahijussadat Cibadak Lebak Banten dengan
alumni Universitas Islam Internasional Islamabad KH Samson Rahman MA.
Bagaimana
Aktualisasi hijrah dalam kehidupan sehari-hari?
Setiap orang harus diambil fundamentalnya dulu
terhadap makna hijrah secara definitf. Sehingga kemudian
kita bisa melangkah dengan sesuatu yang fundamen tersebut. Artinya bahwa,
tatkala seseorang mengerti benar hijrah itu dari sisi hakiki maka dia akan bisa
merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari.Misalnya begini, Rasulullah SAW Tatkala
tertolak secara sosial di Mekkah maka beliau mencari lahan baru untuk hidup dan
matinya dakwah di masyarakat. Artinya, tatkala kita hidup di sebuah tempat yang
kira-kira potensi kita bisa terbunuh dan terkubur. Maka kita sebagai mahluk
sosial harus mengambil alternatif baru (sosial base) agar kita bisa berkembang
di tempat itu.
Jadi
jangan sampai kita menjadi makhluk stagnan yang
tidak bergerak. Karena dalam gerakan itu mengandung Barokah, Al-Harakatul
Barakah, wal -Barakah min sababi Al- Harakah. Ketika kita mentok dalam
posisi sosial tertentu maka dengan cepat kita harus mengambil alternatif baru
agar tidak ada kementokan perjalan historis dan sosial kita. Untuk itu kita
membutuhkan link, koneksi, relasi dan
pemahaman kita tentang medan situasi sosial tertentu yang sangat dipentingkan
untuk kita aplikasikan.
Mungkinkah
Momentum Hijrah ini bisa kita kaitkan dengan
kebangkitan Islam?
Minimal
adalah semangatnya, bahwa kita seharusnya menjadi pewaris sah dari munculnyakhilafaur-rasyidah.
Pada puncak fase perjalanan sejarah yang diramalkan oleh Rasulullah SAW. Walaupun
kita ternyata tidak menikmati itu, minimal kita pernah menanam bibit-bibitnya.
Jadi jangan sampai kita memetik sesuatu yang belum waktunya, hanya kita telah
berhasil untuk bibit-bibit itu.
Semangat
untuk melahirkan Khilafah ‘Ala Minhaj An-Nubuwwah itu perlu kita terus
dengungkan, menanam bibit-bibitnya, sehingga kemudian yang terjadi adalah
anak-anak kita telah siap menghadapi kenyataan yang mungkin muncul pada saat
mereka ada. Jangan sampai kita meragukan kehadirannya.
Kita
tidak tahu kapan akan terjadi, walaupun ramalan dari berbagai ahli telah
menyebutkan akan kehadirannya. Yang terpenting adalah semangat kita sebagaimana
yang disebutkan dalam sebuah hadits, “andai kata ada seorang muslim yang di
tangannya ada satu bibit tanaman dan ia tahu bahwa hari itu akan terjadi kiamat, maka
wajib bagi dia selagi dia bisa untuk menanamnya”. (Al-Hadits). Artinya
kita harus berpikir visioner bahwa apa yang kita tanam tidak harus kita petik
sendiri hasilnya.
Bagaimana
menyikapi fenomena sekarang yang mengatakan lebih baik memilih pemimpin kafir
yang adil daripada memilih pemimpin muslim yang tidak adil?
Saya kira itu adalah terminologi yang salah. Bahkan ada
seorang pimpinan ormas yang mengatakan
seperti itu. Pertama, pemimpin yang kafir kata dia itu lebih baik daripada
pemimpin muslim tapi tidak adil. kenapa kalau dibalik termanya dengan mengatakan
“pemimpin muslim yang adil lebih baik dari pemimpin kafir yang adil”.
Bukankah
di umat ini masih banyak yang memiliki
rasa keadilan itu? Ini sebenarnya adalah penggiringan opini yang menyesatkan.
Kenapa kita tidak membuat terma-terma yang menyejukkan daripada dengan terma
yang kontroversial. Kalau bisa curiga, jangan-jangan mereka sudah disunting
dengan dana-dana tertentu.
Kita
harus waspada menghadapi politik kotor yang ada di tengah-tengah kita. Sebagaimana
ada seorang kristen yang masuk ke tengah-tengah pesantren. Kemudian disambut
oleh para santri dengan rebbana dan sebagian santri cium tangan. Saya kira ini adalah
kejahatan yang sengaja dilakukan agar ada penumpulan kepekaan politik dalam Islam. padahal imam politik adalah tidak lebih
rendah daripada imam shalat.
Lantas sosok pemimpin Islam bagaimanakan yang ideal?
Pertama, dia harus memiliki karakter sebagai seorang
muslim yang taat kepada Allah SWT. Kedua, dia harus memiliki rasa keadilan itu.
Ketiga, memiliki visi yang benar untuk membangun umat dan bangsa ini. Keempat,
dia bisa bukan hanya mengayomi umat Islam tetapi ia juga bisa mengayomi umat
lain. karena memang Islam ini hadir bukan hanya untuk kaum muslimin, tapi ia
hadir untuk semua bangsa-bangsa.
Dia
juga harus memiliki integritas yang luar biasa, memiliki visi besar bahwa dia
hidup di sebuah masyarakat heterogen, plural dan bukan homogen. Karena itu dia
harus menjadi rahmat bagi semesta itu. Hingga dia bisa menjadikan bangsa ini sebagai
bangsa yang baik dan sejahtera. Sebagai bangsa yang disebut sebagai baldatun thayyibah warabbun ghafur.
Mengapa
media saat ini memberikan berita negatif terhadap Islam? apa langkah kita untuk menghapus stigma
negatif tersebut?
Pertama,
karena memang ada kelompok Islam yang
mengeruhkan suasana. Kedua, karena memang ada media-media yang menjadi corong
bagi orang-orang yang ingin mendiskriditkan
umat islam. ketiga, mereka banyak jualan. Jualan pada bangsa asing, yang
kadangkala mereka dianggap bagus tatkala menyuarakan kenegatifan umat Islam.
Padahal
ia adalah sebagian kecil dari umat Islam
tersebut. hanya orang-orang tertentu yang menyuarakan Islam radikal atau mereka
sebut dengan Islam garis keras, militan Islam dan seterusnya. Hal ini berdampak pada
mengeruhkan suasana Islam damai tersebut. artinya, media berkepentingan
untuk mengekspos Islam yang buruk. Sedangkan berita-berita
yang ramah dan positif disembunyikan.
Di
Pesantren Modern erat kaitannya dengan prinsip berpikir bebas. Tidakkah prinsip
ini berbahaya, karena ini menjadi celah bagi alumni pesantren yang menganggap
dirinya liberal dengan beralasan seperti itu?
Berpikir
bebas di sini adalah dia bisa menangkap kebenaran dari berbagai sisinya.
Berpikir bebas dengan keterbatasan tertentu. Makanya Gontor sangat membatasi
liberalisasi sehingga ada PKU atau
pengkaderan Ulama. Karena Gontor pernah kebobolan dengan liberalisasi
pemikiran.
Pemikiran
liberal sebenarnya sangat mengganggu pondok, mengganggu keharmonisan. Karena
mereka kadangkala mengebiri kebenaran teks yang ada dalam Alquran, kebenaran
teks yang ada dalam Hadits. Saya lihat ada sebagian anak-anak Pesantren sekarang mendukung LGBT.
Karena mungkin mereka salah memaknai apa yang disebut sebagai berpikir bebas.
Berpikir
bebas adalah kita bisa menangkap berbagai hal positif yang bisa kita tangkap.
Berpikir bebas dengan makna liberalisasi itu tidak pernah diajarkan di
Pesantren. Kita disebut sebagai freethinkers bukan leberalitinkers.orang
berpikir bebas itu bukan menyedot semua yang jahat dan yang bagus menjadi satu.
(*/Ma’zumi)
No comments:
Post a Comment