Dalam
Ikatan Ukhuwah
Oleh
Iqbal Haqiqi AlFriansyah
“Sekolah itu jangan jauh-jauh,
dekat rumah sajalah Nak, dengan Ibu, bapak, keluarga, dan teman-temanmu. Apa
bedanya dengan di sini, sama saja toh Nak.
nanti di sana kamu sama siapa? kalo mau apa-apa bagaimana? kalo kamu
sakit bagaimana siapa yang akan merawatmu. Ditambah disana beda adat, beda
watak, beda suku, beda bahasa dan beda segala-galanya. bagiamana kamu akan
beradaptasi dengan mudah dengan orang yang tidak kamu kenal. Bagaimana makanan
disana, bagaimana cuaca dan musim disana semuanya beda dengan disini Nak,
Sudahlah kamu sekolah di sini saja biar ibu dan bapak bisa selalu memantaumu”
Kubuka
pintu rumahku perlahan, kulihat ibu sedang memasak di dapur, sedangkan bapak
masih belum pulang dari pengajiannya. ku urungkan niat untuk bicara dengan ibu
sekarang. mungkin selesai memasak akan aku utarakan apa yang masih kupendam
dalam hati
Selesai mandi dan makan siang,
kulihat ibu sedang bersantai duduk manis di teras rumah, menikmati senja sambil
menyeruput teh hangat ditemani biskuit dan manisan lainnya. Ku bulatkan tekad
untuk mengutarakan hal yang belum sempat aku katakan pada ibu.
“Assalamua’laikum,
bu!” ucap salamku pada ibu
“Waalaikumsalam” jawab ibu
“Aku
ingin bercakap serius dengan ibu”
“Serius
gimana toh nak, apa yang ingin kamu sampaikan, katakan saja.”
“Sewaktu
di pondok, pak kyai menawarkan beasiswa untuk melanjutkan masa pembelajaran
kuliahku di Negri seberang”
“ Negeri
seberang di mana maksudmu Nak..?”
“ Sudan,
Afrika bu!”
“ Sudan
itu di mana nak, ibu baru dengar rasanya” tanya ibu bingung.
“ Sudan
terletak di benua Afrika bu, termasuk dalam kelompok negara Arab”
“ tapi kamu
bukannya sudah daftar di UIN Banten Nak, dan semua Administrasi sudah dilunasi?”
“ iya
bu, tapi bukankah akan lebih berpengaruh jika aku hidup di lingkungan
orang-orang Arab..? itu akan menambah kefasihanku dalam berbahasa Arab bu!”
“ Ibu
bersyukur kamu yang terpilih dari sekian banyak santri kyaimu Nak, tapi ibu
khawatir kamu kenapa-napa nanti di sana”
“Kenapa-napa
bagaimana bu?” tanyaku heran
“Nanti
di sana kamu sama siapa? kalo mau apa-apa bagaimana? kalo kamu sakit bagaimana
dan siapa yang akan merawatmu? Ditambah di sana beda adat, beda watak, beda
suku, beda bahasa dan beda segala-galanya. bagiamana kamu akan beradaptasi
dengan mudah dengan orang yang tidak kamu kenal. Bagaimana makanan disana,
bagaimana cuaca dan musim disana semuanya beda dengan disini Nak, Sudahlah kamu
sekolah di sini saja biar ibu dan bapak bisa selalu memantaumu!” jawab ibu
padaku dengan panjang
“ iya bu!”
aku hanya mengangguk tak bisa menjawab penjelasan ibu yang panjang lebar tadi.
***
Orang
pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. tinggalkan Negrimu dan
merantaulah, pergilah kau akan mendapatkan pengganti dari orang-orang yang kau
tinggalkan. berletih-letihlah karena manisnya kehidupan terasa setelah letih
berjuang. aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan, jika
mengalir menjadi jernih jika diam dia akan keruh menggenang. singa takkan
pernah memangsa jika diam didalam sarang. Anak panah jika tidak tinggalkan
busur takkan kena sasaran. Dan matahari jika terus berada pada orbitnya, diam
dan tak bergerak, tentu manusia akan bosan baik bangsa arab maupun bukan ( Imam
asyafe’I )
International
University of Africa, kampus yang kupijaki kini. Tulisan Namanya
terpampang jelas bagi siapa saja yang akan masuk ke dalam, melihat kampus ini,
serasa teringat kembali kenanganku akan sulitnya masuk ke kampus ini karena
kekhawatiran orang tuaku.
Bukankah
kita semua ini bersaudara, pasti akan saling tolong-menolong, bahu-membahu, dan
saling mengingatkan antara satu dan yang lainnya.
Entah
saudara sedaerah, saudara sesuku, saudara sebangsa, bahkan saudara seiman dan
seagama. Dan bukankah mempunyai teman-teman baru dari berbagai daerah, suku,
bahkan berbeda Negara itu sungguh Indah. Bukankah kita sama-sama tersungkur
dalam sujud menghadap Rabb yang sama. dimana letak perbedaannya, aku yakin
semua perbedaan akan disatukan dalam ikatan ukhhuwah ini.
Kekhawatiran ibu sama dengan
petama kali aku masuk pondok, kekhawatiran yang sama tentang bagaimana dengan
makan, bagaimana jika sakit dan sebagainya. Lambat laun ibu bisa yakin dan
percaya, bahwa di pondok aku mempunyai kakak kelas yang saling tolong-menolong,
mempunyai kakak yang banyak jumlahnya bukankah mengagumkan.
Dan semakin lama di pondok, aku mempunyai adik-adik yang lugu dan masih polos yang selalu membutuhkan bimbinganku. Mengajari cara pakai sarung, memeberikan kosa kata setiap malam, mengajarkan kebersihan dan sebagainya. Sampai lambat laun mereka nanti akan menjadi kakak-kakak panutan bagi adik-adiknya nanti.
Ditambah para dewan guru di pondok yang selalu membimbing, mengajari, mengayomi dengan penuh keikhlasan layaknya ibu dan bapak. Jadi aku tak pernah merasa sendirian di pondok, pasti akan selalu ada pengganti dari orang-orang yang aku tinggalkan di rumah. pasti akan selalu diberikan kemudahan dalam menuntut ilmu. Begitupun kini, di benua ini, pasti aku akan mendapatkan kakak, adik, ibu dan bapak dalam ikatan Ukhuwwah yang sudah mendarah daging pada tiap Insan.
Begitulah kehidupan multikultural yang sangat mengagumkan, bagaimana Allah meciptakan makhluknya dengan segala perbedaannya. Perbedaan bukan untuk pertikaian, bukan untuk kerusakan, bukan untuk permusuhan. Tetapi bagaimana perbedaan itu dijadikan suatu keharmonisan, kerukunan, kedamaian satu dengan yang lainnya. Baik berbeda daerah, suku, adat, Negara, bahkan Agama. Kita harus selalu beriringan dalam keharmonisan tanpa melampaui batas-batas yang sudah ditentukan.
Dan semakin lama di pondok, aku mempunyai adik-adik yang lugu dan masih polos yang selalu membutuhkan bimbinganku. Mengajari cara pakai sarung, memeberikan kosa kata setiap malam, mengajarkan kebersihan dan sebagainya. Sampai lambat laun mereka nanti akan menjadi kakak-kakak panutan bagi adik-adiknya nanti.
Ditambah para dewan guru di pondok yang selalu membimbing, mengajari, mengayomi dengan penuh keikhlasan layaknya ibu dan bapak. Jadi aku tak pernah merasa sendirian di pondok, pasti akan selalu ada pengganti dari orang-orang yang aku tinggalkan di rumah. pasti akan selalu diberikan kemudahan dalam menuntut ilmu. Begitupun kini, di benua ini, pasti aku akan mendapatkan kakak, adik, ibu dan bapak dalam ikatan Ukhuwwah yang sudah mendarah daging pada tiap Insan.
Begitulah kehidupan multikultural yang sangat mengagumkan, bagaimana Allah meciptakan makhluknya dengan segala perbedaannya. Perbedaan bukan untuk pertikaian, bukan untuk kerusakan, bukan untuk permusuhan. Tetapi bagaimana perbedaan itu dijadikan suatu keharmonisan, kerukunan, kedamaian satu dengan yang lainnya. Baik berbeda daerah, suku, adat, Negara, bahkan Agama. Kita harus selalu beriringan dalam keharmonisan tanpa melampaui batas-batas yang sudah ditentukan.
Persaudaraan adalah mukjizat, wadah yang
saling berserakan
dengannya Allah persatukan hati hati berserakan itu
saling bersaudara, saling merendah lagi memahami
saling mencintai dan saling berlembut hati ( Sayyid Quthb )
dengannya Allah persatukan hati hati berserakan itu
saling bersaudara, saling merendah lagi memahami
saling mencintai dan saling berlembut hati ( Sayyid Quthb )
Suasana asrama begitu asing di
mata, namun terasa nyaman di jiwa. Canda tawa mereka menghiasi malam pertamaku
di asrama entah dari mana mereka berasal, apa mungkin mereka kakak-beradik,
atau mungkin mereka satu daerah.
Keakraban dalam canda tawa mereka serasa mereka sudah menegenal satu
sama lain sejak kecil.
“Assalamua’laikum Warahmatullah” ucap
salamku
“Waalaikum
Salam Warahmatulah, tafadhol biddukhul ( Silahkan masuk),” jawab pengurus
asrama.
“Ana
Andunisy, ana Tholib Barlum Hina, wa lam anal Ghurfah (saya dari Indonesia,
saya mahasiswa baru disini, dan saya belum mendapatkan kamar)
“Ayuwah
wayn Bhitoqoh tholib wal Ishol (ooh iya, tolong tunjukan kartu mahasiswa
dan tanda buktinya)”
Aku
tunjukan kartu mahasiswaku dan tanda bukti rekomendasi dari pengurus pusat
Asrama, pengurus asrama langsung mengantar dan menunjukan di mana kamar
untukku.
“Dzihi
ghurfatuk, sa yubayyinu laka Rois an Qonun Hina (ini kamarmu, nanti peraturan
asrama akan dijelaskan oleh ketua kamarmu)”
“
Syukran lakum, Jazakallah khair”
Kubuka
pintu kamarku, ada sedikit takut, risih, dan gelisah. Bagaimana tidak, aku
tinggal dengan orang yang tidak aku kenal sama sekali, dengan Negara berbeda,
Ras berbeda, warna kulit berbeda, dan semuanya serba berbeda. Hanya satu yang
sama diantara kita, kami berada dalam naungan Tuhan yang sama, Agama yang sama,
yaitu Islam.
Kubuka mataku dengan perasaan bingung
dan kaget, dalam hati bertanya-tanya di mana aku? bukankah aku tidur di kamarku?
ini semua terlihat asing dimata. Astaghfirullah ternyata kenangan Rumah
masih selalu terekam jelas dalam pikiran, pengalaman kehidupan pondok selama 6
tahun masih belum cukup untuk bisa beradaptasi dengan orang-orang yang berbeda
dalam waktu sekejap, masih membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan keadaan.
Badan ini masih terasa lemas,
setelah perkenalan dengan anggota-angggota kamar semalam, badan ini langsung
mendarat bebas di kasur. Aku masih ingat dari mana saja asal mereka, ada yang
dari Nigeria, Tanzania, Ghana, Mhali, Kenya dan moezambique. Namun masih samar
dengan nama-nama mereka. Yang jelas aku dikelilingi oleh orang-orang Afrika. Serasa
ingin kembali lagi ke alam mimpi, tapi suara perut ini melarang dan berdemo
untuk segera di isi.
“Yaa
Andunisy Tafadhol ma’ana” ( hei orang Indonesia silahkan bergabung dengan
kami)
“ ayuwah
ya Habib Syukran lakum ( ooh iya, terima kasih untukmu )
“ Laa
ya Andunisy, wajib tafthuru ma’ana Hadza min Tanzania ( tidak, kamu wajib
sarapan dengan kami, masakan ini khas dari Tanzania)
“ ay
(iya)”
Ajakan
makan dari orang Tanzania tak henti-hentinya, Karena terus-menerus dipaksa,
akhirnya aku mencoba dan sarapan bersama dengan apa yang mereka masak.
Sekaligus mengisi perut kosongku karena memang sudah merasa lapar dari tadi.
“Ma
shaa Allah Dza Syunu ya Akhuy ( ma shaa Allah, ini berasal dari apa
saudaraku ) takjub aku dengan masakan yang mereka masak
“Dza mawz
ma Nadhiz, tsumma Natbakh, biziyadati Syattoh ( ini pisang yg belum matang,
kemudian dimasak dan ditambah dengan saus sambal)”
“Dza
Kuwais (ini enak)” kataku dengan senyum
Mungkin ini yang dinamakan Ukhuwwah
Islamiyah, yang dari dulu sampai sekarang selalu terpampang di pondokku.
Menjadi panca jiwa dan menjadi Ruh bagi pondok tersebut. Miniatur kehidupan
multilkultural, bagaimana kita bisa selalu damai dan rukun atas perbedaan.
Walau berbeda ayah, ibu dan daerah tapi kita tetap bersaudara. Saudara
sebangsa, setanah air, dan saudara Seiman. Dan itulah yang aku rasakan saat ini.
Payung sesama mukmin selalu menaungi.
Saling bahu-membahu, saling menolong, dan saling melengkapi layaknya suatu
bangunan itulah Ukhuwwah, ukhuwwah Islamiyyah. Aku ingin ibu dan bapak
merasakan persaudaraan kita, walaupun berbeda budaya, ras, suku, adat, dan
bahasa. Kita tetap bersaudara dan saling menolong antar sesama dalam ikatan
Ukhuwwah ini, Ukhuwwah Islamiyyah ini. Sehingga ibu dan bapak tidak perlu
khawatir lagi.
Apa rambu yang harus kita jaga, agar
sejalan dengan semangat kebersamaan dalam ikatan Ukhuwwah ini? “Janganlah
kalian saling membenci” begitu Nabi Muhammad SAW. bersabda seperti
dikisahkan Abu Hurairah dalam riwayat Al-Bukhori “ jangan saling menipu,
jangan kalian saling mendengki, jangan saling memutuskan hubungan, dan
janganlah kalian menyerobot akad dengan
sebagian yang lain”
“Jadilah kalian hamba Allah yang
bersaudara,” lanjut beliau SAW. “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang
lain. Tidak boleh menzholiminya, tidak boleh membiarkannya, dan tidak boleh
menghinakannya. Taqwa itu di sini, di sini, di sini. Beliau menujuk dadaNya
tiga kali”
***
Yang aku
tahu ada dua jenis manusia di bumi ini, hanya ada dua, sungguh tak lebih. Bukan
pendosa dan orang suci, bukan yang kaya dan yang miskin, bukan rendah hati dan
si sombong diri, dan bukan yang bahagia dan bersedih hati. Dua manusia itu
adalah yang mengangkat dan yang membebani. Dengan kedua manusia ini kita
berjumpa, kita bahkan merasa akan hanya ada seorang pengangkat untuk setiap
sepuluh orang yang membebani. Termasuk yang manakah engkau? apakah engkau
meringankan beban ataukah engkau seorang penyandar yang membiarkan saudaramu
merasakan tanggungan, kekhawatiran bahkan segala duka dan derita untuk
memberati pundak-pundak mereka.”
Beberapa bulan tinggal di Benua ini,
aku terkena penyakit typus. Badan menggigil, meriang tak karuan. Serasa
rindu dan ingin pulang, namun tak mungkin dan hanya khayalan. Aku sudah di sini,
tak mungkin menengok ke belakang dan kembali pulang.
“Assalamua’laikum
ya Akhi kayf al hal (bagiamana kabarmu)” terlihat pesan dari seorang
laki-laki yang aku temui di masjid Minggu lalu, aku lupa kita sempat bertukar
nomer telpon
“Waalaikum
Salam ya syekh, kuntu Maridon Al-an” (aku sekarang lagi sakit) jawabku
singkat
“Inna
Lillahi, amsyi ba’da Ashr Thowwali Hinak” (aku akan ke tempatmu selepas
Ashar nanti)
Aku tak menjawab lagi, karena badanku
yang masih lemas, dan karena aku dengannya masih pertama kali kenal, dan aku
anggap hanya angin lewat saja. Seorang syekh Sudan, dia CEO perusahaan Minyak
di sini. Syekh Imaduddin, itulah yang aku ingat sekilas tentangnya.
“Assalamua’laikum,
kuntu fil bawwabah ( aku sekarang di gerbang)
“Waa’laikum
Salam, Amsyi Hinak ( Aku akan kesana)
Betapa kagetnya aku, dia sungguh datang
ke asramaku, padahal jarak rumah dan Asramaku cukup jauh. Aku disuruh Naik
kemobilnya, aku akan dibawa ke rumah sakit yang cukup mumpuni di Sudan ini
katanya. Karena memang aku sudah berobat kerumah sakit sudah lebih dari tiga
kali namun Nihil hasilnya. Aku hanya mengiyakan pinta syekh itu, aku pasrahkan
semua pada Allah, mungkin pertolongan Allah datang melalui syekh ini.
Alhamdulillah dalam waktu tiga hari
berobat dirumah sakit yang ditunjukan syekh waktu itu, aku sudah membaik dan
sudah bisa memulai aktifitas seperti biasanya. Semua biaya ditanggung oleh
beliau, dan sampai detik ini, hubunganku dengannya layaknya bapak dan anak. Ikatan
Ukhuwwah ini sungguh tak bisa dijelaskan
oleh akal dan pikiran. Semuanya tergerakan oleh hati dan Nurani. Tidak
akan pernah memeperhitungkan materi, semuanya tergerak oleh hati.
Banyak sekali kejadian yang serupa,
ketika aku ingin membeli sesuatu, dan aku lupa membawa uang, pedagang itu
memberikan secara cuma-cuma. Ketika aku ingin pergi ke kampus dengan berjalan
kaki, tiba-tiba mobil berhenti dan mengantarku sampai ke kampus. Ketika Handphone
temanku hilang, aku coba menghubunginya dan diangkat oleh si penemu Handphone
itu, dan dia langsung mengembalikan tanpa meminta sepeser imbalan apapun. Hanya
beberapa kata yang mereka ucapkan “Anta Akhi Fillahi” hanya itulah yang
mereka katakan. yang jelas Ikatan Ukhuwwah yang menyatukan kita.
Penulis
adalah alumni Ponpes Manahijussadat dan Mahasiswa jurusan Dirasat Islamiyah di
International University of Africa.IUA
No comments:
Post a Comment