Tuesday, August 15, 2017

Cerpen

Dalam Ikatan Ukhuwah
Oleh Iqbal Haqiqi AlFriansyah

Sekolah itu jangan jauh-jauh, dekat rumah sajalah Nak, dengan Ibu, bapak, keluarga, dan teman-temanmu. Apa bedanya dengan di sini, sama saja toh Nak.  nanti di sana kamu sama siapa? kalo mau apa-apa bagaimana? kalo kamu sakit bagaimana siapa yang akan merawatmu. Ditambah disana beda adat, beda watak, beda suku, beda bahasa dan beda segala-galanya. bagiamana kamu akan beradaptasi dengan mudah dengan orang yang tidak kamu kenal. Bagaimana makanan disana, bagaimana cuaca dan musim disana semuanya beda dengan disini Nak, Sudahlah kamu sekolah di sini saja biar ibu dan bapak bisa selalu memantaumu”
    Kubuka pintu rumahku perlahan, kulihat ibu sedang memasak di dapur, sedangkan bapak masih belum pulang dari pengajiannya. ku urungkan niat untuk bicara dengan ibu sekarang. mungkin selesai memasak akan aku utarakan apa yang masih kupendam dalam hati
    Selesai mandi dan makan siang, kulihat ibu sedang bersantai duduk manis di teras rumah, menikmati senja sambil menyeruput teh hangat ditemani biskuit dan manisan lainnya. Ku bulatkan tekad untuk mengutarakan hal yang belum sempat aku katakan pada ibu.

“Assalamua’laikum, bu!” ucap salamku pada ibu
“Waalaikumsalam”  jawab ibu
“Aku ingin bercakap serius dengan ibu”
“Serius gimana toh nak, apa yang ingin kamu sampaikan, katakan saja.”
“Sewaktu di pondok, pak kyai menawarkan beasiswa untuk melanjutkan masa pembelajaran kuliahku di Negri seberang”
“ Negeri seberang di mana maksudmu Nak..?”
“ Sudan, Afrika bu!”
“ Sudan itu di mana nak, ibu baru dengar rasanya” tanya ibu bingung.
“ Sudan terletak di benua Afrika bu, termasuk dalam kelompok negara Arab”
“ tapi kamu bukannya sudah daftar di UIN Banten Nak, dan semua Administrasi sudah dilunasi?”
“ iya bu, tapi bukankah akan lebih berpengaruh jika aku hidup di lingkungan orang-orang Arab..? itu akan menambah kefasihanku dalam berbahasa Arab bu!”
“ Ibu bersyukur kamu yang terpilih dari sekian banyak santri kyaimu Nak, tapi ibu khawatir kamu kenapa-napa nanti di sana”
“Kenapa-napa bagaimana bu?” tanyaku heran
“Nanti di sana kamu sama siapa? kalo mau apa-apa bagaimana? kalo kamu sakit bagaimana dan siapa yang akan merawatmu? Ditambah di sana beda adat, beda watak, beda suku, beda bahasa dan beda segala-galanya. bagiamana kamu akan beradaptasi dengan mudah dengan orang yang tidak kamu kenal. Bagaimana makanan disana, bagaimana cuaca dan musim disana semuanya beda dengan disini Nak, Sudahlah kamu sekolah di sini saja biar ibu dan bapak bisa selalu memantaumu!” jawab ibu padaku dengan panjang
“ iya bu!” aku hanya mengangguk tak bisa menjawab penjelasan ibu yang panjang lebar tadi.


***
Orang pandai dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. tinggalkan Negrimu dan merantaulah, pergilah kau akan mendapatkan pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan. berletih-letihlah karena manisnya kehidupan terasa setelah letih berjuang. aku melihat air yang diam menjadi rusak karena diam tertahan, jika mengalir menjadi jernih jika diam dia akan keruh menggenang. singa takkan pernah memangsa jika diam didalam sarang. Anak panah jika tidak tinggalkan busur takkan kena sasaran. Dan matahari jika terus berada pada orbitnya, diam dan tak bergerak, tentu manusia akan bosan baik bangsa arab maupun bukan ( Imam asyafe’I )
    International University of Africa, kampus yang kupijaki kini. Tulisan Namanya terpampang jelas bagi siapa saja yang akan masuk ke dalam, melihat kampus ini, serasa teringat kembali kenanganku akan sulitnya masuk ke kampus ini karena kekhawatiran orang tuaku.
Bukankah kita semua ini bersaudara, pasti akan saling tolong-menolong, bahu-membahu, dan saling mengingatkan antara satu dan yang lainnya.
 Entah saudara sedaerah, saudara sesuku, saudara sebangsa, bahkan saudara seiman dan seagama. Dan bukankah mempunyai teman-teman baru dari berbagai daerah, suku, bahkan berbeda Negara itu sungguh Indah. Bukankah kita sama-sama tersungkur dalam sujud menghadap Rabb yang sama. dimana letak perbedaannya, aku yakin semua perbedaan akan disatukan dalam ikatan ukhhuwah ini.
     Kekhawatiran ibu sama dengan petama kali aku masuk pondok, kekhawatiran yang sama tentang bagaimana dengan makan, bagaimana jika sakit dan sebagainya. Lambat laun ibu bisa yakin dan percaya, bahwa di pondok aku mempunyai kakak kelas yang saling tolong-menolong, mempunyai kakak yang banyak jumlahnya bukankah mengagumkan.
      Dan semakin lama di pondok, aku mempunyai adik-adik yang lugu dan masih polos yang selalu membutuhkan bimbinganku. Mengajari cara pakai sarung, memeberikan kosa kata setiap malam, mengajarkan kebersihan dan sebagainya. Sampai lambat laun mereka nanti akan menjadi kakak-kakak panutan bagi adik-adiknya nanti.
    Ditambah para dewan guru di pondok yang selalu membimbing, mengajari, mengayomi dengan penuh keikhlasan layaknya ibu dan bapak. Jadi aku tak pernah merasa sendirian di pondok, pasti akan selalu ada pengganti dari orang-orang yang aku tinggalkan di rumah. pasti akan selalu diberikan kemudahan dalam menuntut ilmu. Begitupun kini, di benua ini, pasti aku akan mendapatkan kakak, adik, ibu dan bapak dalam ikatan Ukhuwwah yang sudah mendarah daging pada tiap Insan.

  Begitulah kehidupan multikultural yang sangat mengagumkan, bagaimana Allah meciptakan makhluknya dengan segala perbedaannya. Perbedaan bukan untuk pertikaian, bukan untuk kerusakan, bukan untuk permusuhan. Tetapi bagaimana perbedaan itu dijadikan suatu keharmonisan, kerukunan, kedamaian satu dengan yang lainnya. Baik berbeda daerah, suku, adat, Negara, bahkan Agama. Kita harus selalu beriringan dalam keharmonisan tanpa melampaui batas-batas yang sudah ditentukan.

Persaudaraan adalah mukjizat, wadah yang saling berserakan
dengannya Allah persatukan hati hati berserakan itu
saling bersaudara, saling merendah lagi memahami
saling mencintai dan saling berlembut hati ( Sayyid Quthb )
    Suasana asrama begitu asing di mata, namun terasa nyaman di jiwa. Canda tawa mereka menghiasi malam pertamaku di asrama entah dari mana mereka berasal, apa mungkin mereka kakak-beradik, atau mungkin mereka satu daerah.  Keakraban dalam canda tawa mereka serasa mereka sudah menegenal satu sama lain sejak kecil.
 “Assalamua’laikum Warahmatullah” ucap salamku
Waalaikum Salam Warahmatulah, tafadhol biddukhul ( Silahkan masuk),” jawab pengurus asrama.
Ana Andunisy, ana Tholib Barlum Hina, wa lam anal Ghurfah (saya dari Indonesia, saya mahasiswa baru disini, dan saya belum mendapatkan kamar)
Ayuwah wayn Bhitoqoh tholib wal Ishol (ooh iya, tolong tunjukan kartu mahasiswa dan tanda buktinya)”

Aku tunjukan kartu mahasiswaku dan tanda bukti rekomendasi dari pengurus pusat Asrama, pengurus asrama langsung mengantar dan menunjukan di mana kamar untukku.
“Dzihi ghurfatuk, sa yubayyinu laka Rois an Qonun Hina (ini kamarmu, nanti peraturan asrama akan dijelaskan oleh ketua kamarmu)”
“ Syukran lakum, Jazakallah khair” 
Kubuka pintu kamarku, ada sedikit takut, risih, dan gelisah. Bagaimana tidak, aku tinggal dengan orang yang tidak aku kenal sama sekali, dengan Negara berbeda, Ras berbeda, warna kulit berbeda, dan semuanya serba berbeda. Hanya satu yang sama diantara kita, kami berada dalam naungan Tuhan yang sama, Agama yang sama, yaitu Islam.
       Kubuka mataku dengan perasaan bingung dan kaget, dalam hati bertanya-tanya di mana aku? bukankah aku tidur di kamarku? ini semua terlihat asing dimata. Astaghfirullah ternyata kenangan Rumah masih selalu terekam jelas dalam pikiran, pengalaman kehidupan pondok selama 6 tahun masih belum cukup untuk bisa beradaptasi dengan orang-orang yang berbeda dalam waktu sekejap, masih membutuhkan waktu untuk terbiasa dengan keadaan.
       Badan ini masih terasa lemas, setelah perkenalan dengan anggota-angggota kamar semalam, badan ini langsung mendarat bebas di kasur. Aku masih ingat dari mana saja asal mereka, ada yang dari Nigeria, Tanzania, Ghana, Mhali, Kenya dan moezambique. Namun masih samar dengan nama-nama mereka. Yang jelas aku dikelilingi oleh orang-orang Afrika. Serasa ingin kembali lagi ke alam mimpi, tapi suara perut ini melarang dan berdemo untuk segera di isi.

Yaa Andunisy Tafadhol ma’ana” ( hei orang Indonesia silahkan bergabung dengan kami)
“ ayuwah ya Habib Syukran lakum ( ooh iya, terima kasih untukmu )
Laa ya Andunisy, wajib tafthuru ma’ana Hadza min Tanzania ( tidak, kamu wajib sarapan dengan kami, masakan ini khas dari Tanzania)
ay (iya)”
      Ajakan makan dari orang Tanzania tak henti-hentinya, Karena terus-menerus dipaksa, akhirnya aku mencoba dan sarapan bersama dengan apa yang mereka masak. Sekaligus mengisi perut kosongku karena memang sudah merasa lapar dari tadi.

Ma shaa Allah Dza Syunu ya Akhuy ( ma shaa Allah, ini berasal dari apa saudaraku ) takjub aku dengan masakan yang mereka masak
Dza mawz ma Nadhiz, tsumma Natbakh, biziyadati Syattoh ( ini pisang yg belum matang, kemudian dimasak dan ditambah dengan saus sambal)”
Dza Kuwais (ini enak)” kataku dengan senyum

      Mungkin ini yang dinamakan Ukhuwwah Islamiyah, yang dari dulu sampai sekarang selalu terpampang di pondokku. Menjadi panca jiwa dan menjadi Ruh bagi pondok tersebut. Miniatur kehidupan multilkultural, bagaimana kita bisa selalu damai dan rukun atas perbedaan. Walau berbeda ayah, ibu dan daerah tapi kita tetap bersaudara. Saudara sebangsa, setanah air, dan saudara Seiman. Dan itulah yang aku rasakan saat ini.
     Payung sesama mukmin selalu menaungi. Saling bahu-membahu, saling menolong, dan saling melengkapi layaknya suatu bangunan itulah Ukhuwwah, ukhuwwah Islamiyyah. Aku ingin ibu dan bapak merasakan persaudaraan kita, walaupun berbeda budaya, ras, suku, adat, dan bahasa. Kita tetap bersaudara dan saling menolong antar sesama dalam ikatan Ukhuwwah ini, Ukhuwwah Islamiyyah ini. Sehingga ibu dan bapak tidak perlu khawatir lagi.
        Apa rambu yang harus kita jaga, agar sejalan dengan semangat kebersamaan dalam ikatan Ukhuwwah ini? “Janganlah kalian saling membenci” begitu Nabi Muhammad SAW. bersabda seperti dikisahkan Abu Hurairah dalam riwayat Al-Bukhori “ jangan saling menipu, jangan kalian saling mendengki, jangan saling memutuskan hubungan, dan janganlah kalian menyerobot  akad dengan sebagian yang lain”
         Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara,” lanjut beliau SAW. “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain. Tidak boleh menzholiminya, tidak boleh membiarkannya, dan tidak boleh menghinakannya. Taqwa itu di sini, di sini, di sini. Beliau menujuk dadaNya tiga kali”
                                                                         ***
 
Yang aku tahu ada dua jenis manusia di bumi ini, hanya ada dua, sungguh tak lebih. Bukan pendosa dan orang suci, bukan yang kaya dan yang miskin, bukan rendah hati dan si sombong diri, dan bukan yang bahagia dan bersedih hati. Dua manusia itu adalah yang mengangkat dan yang membebani. Dengan kedua manusia ini kita berjumpa, kita bahkan merasa akan hanya ada seorang pengangkat untuk setiap sepuluh orang yang membebani. Termasuk yang manakah engkau? apakah engkau meringankan beban ataukah engkau seorang penyandar yang membiarkan saudaramu merasakan tanggungan, kekhawatiran bahkan segala duka dan derita untuk memberati pundak-pundak mereka.”
      Beberapa bulan tinggal di Benua ini, aku terkena penyakit typus. Badan menggigil, meriang tak karuan. Serasa rindu dan ingin pulang, namun tak mungkin dan hanya khayalan. Aku sudah di sini, tak mungkin menengok ke belakang dan kembali pulang.

Assalamua’laikum ya Akhi kayf al hal (bagiamana kabarmu)” terlihat pesan dari seorang laki-laki yang aku temui di masjid Minggu lalu, aku lupa kita sempat bertukar nomer telpon
Waalaikum Salam ya syekh, kuntu Maridon Al-an” (aku sekarang lagi sakit) jawabku singkat
Inna Lillahi, amsyi ba’da Ashr Thowwali Hinak” (aku akan ke tempatmu selepas Ashar nanti)
     Aku tak menjawab lagi, karena badanku yang masih lemas, dan karena aku dengannya masih pertama kali kenal, dan aku anggap hanya angin lewat saja. Seorang syekh Sudan, dia CEO perusahaan Minyak di sini. Syekh Imaduddin, itulah yang aku ingat sekilas tentangnya.

Assalamua’laikum, kuntu fil bawwabah ( aku sekarang di gerbang)
Waa’laikum Salam, Amsyi Hinak ( Aku akan kesana)
     Betapa kagetnya aku, dia sungguh datang ke asramaku, padahal jarak rumah dan Asramaku cukup jauh. Aku disuruh Naik kemobilnya, aku akan dibawa ke rumah sakit yang cukup mumpuni di Sudan ini katanya. Karena memang aku sudah berobat kerumah sakit sudah lebih dari tiga kali namun Nihil hasilnya. Aku hanya mengiyakan pinta syekh itu, aku pasrahkan semua pada Allah, mungkin pertolongan Allah datang melalui syekh ini.
     Alhamdulillah dalam waktu tiga hari berobat dirumah sakit yang ditunjukan syekh waktu itu, aku sudah membaik dan sudah bisa memulai aktifitas seperti biasanya. Semua biaya ditanggung oleh beliau, dan sampai detik ini, hubunganku dengannya layaknya bapak dan anak. Ikatan Ukhuwwah ini sungguh tak bisa dijelaskan  oleh akal dan pikiran. Semuanya tergerakan oleh hati dan Nurani. Tidak akan pernah memeperhitungkan materi, semuanya tergerak oleh hati.
       Banyak sekali kejadian yang serupa, ketika aku ingin membeli sesuatu, dan aku lupa membawa uang, pedagang itu memberikan secara cuma-cuma. Ketika aku ingin pergi ke kampus dengan berjalan kaki, tiba-tiba mobil berhenti dan mengantarku sampai ke kampus. Ketika Handphone temanku hilang, aku coba menghubunginya dan diangkat oleh si penemu Handphone itu, dan dia langsung mengembalikan tanpa meminta sepeser imbalan apapun. Hanya beberapa kata yang mereka ucapkan “Anta Akhi Fillahi” hanya itulah yang mereka katakan. yang jelas Ikatan Ukhuwwah yang menyatukan kita.
  

Penulis adalah alumni Ponpes Manahijussadat dan Mahasiswa jurusan Dirasat Islamiyah di International University of Africa.IUA

No comments:

Post a Comment