Tuesday, August 22, 2017

Cerpen

PELANGI DI ATAS
KUBAH AT-TA’AWUN
Oleh Subkhan Rois

Ujian Akhir Nasional tahun ini telah berlalu beberapa hari yang lalu. Pak Surya merasa sedikit lega setelah anaknya sudah menyelesaikan ujian akhir nasional itu dengan lancar. Meskipun belum mengetahui hasilnya, namun perasaan lega sudah menyelimuti hati lelaki paroh baya ini. Ini mungkin sudah tak aneh lagi, jika ujian Akhir Nasional itu selalu menjadi momok bagi orang tua, guru, bahkan murid itu sendiri. Karena hasil ujian inilah nantinya yang akan dipergunakan untuk menentukan kelulusan murid yang bersangkutan.
Setelah selesai melaksanakan ujian nasional, masih banyak waktu yang dimiliki ketika menunggu hasil pengumuman. Para siswa masih banyak memiliki waktu luang yang tersisa. Meskipun sekolahnya tidak libur total, namun sudah tidak ada lagi kegiatan belajar mengajar. Jadi meskipun setiap hari masih berangkat ke sekolah, namun sebenarnya hanya untuk setor muka saja. Dan kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh Pak Surya untuk membicarakan kelanjutan sekolah anaknya itu.
Sejak semula Pak Surya sudah punya keinginan untuk memasukan anaknya ke Pondok Pesantren moderen. Hal ini dilatarbelakangi karena di lembaga pendidikan ini selain mengajarkan ilmu-ilmu umum, sekaligus juga mengajarkan ilmu agama secara mendalam. Pak Surya berharap anaknya kelak, akan menjadi anak yang pandai mengaji, bisa berbahasa Arab, sekaligus menjadi anak yang memiliki sikap dan tingkah laku yang terpuji layaknya seorang santri.   
Niat Pak Surya itu ibarat gayung bersambut. Ketika dia menyampaikan niatnya itu kepada anaknya, ternyata anaknya pun menyambutnya dengan senang hati. Maka Pak Surya lantas mengajak anaknya itu melakukan survey ke beberapa Pondok pesantren yang ada di daerah Rangkasbitung. Ternyata cukup banyak pondok pesantren yang ada di daerah ini. Pak Surya dan anaknya itu pun mulai mendatangi pondok pesantren itu satu persatu untuk mencari informasi. Dan setelah cukup puas berkeliling, akhirnya pilihanya jatuh pada sebuah pondok pesantren moderen yang berada di daerah Cibadak.   
  Pondok pesantren ini meskipun terlihat sederhana, namun terbilang cukup bagus kurikulum pengajaranya, termasuk kegiatan extrakurikulernya. Karena pondok ini sudah dilengkapi dengan marching band, klub futsal, sepakbola, silat, takraw, pramuka, marawis, bahkan tahfiz quran pun sudah ada di agenda kegiatanya. Selain itu masih banyak kegiatan lain yang bisa diikuti oleh para santri.
Pondok pesantren ini lokasinya berada tepat di belakang sebuah perkampungan yang di kelilingi oleh kebun aneka tanaman buah yang ditumbuhi oleh semak belukar di bawahnya. Jalan yang dilalui untuk menuju ke lokasi pondok itu, masih berupa jalan kampung yang sempit dan hanya muat untuk satu mobil saja. Di kiri kanan jalan masih terlihat kebun-kebun kosong serta hamparan sawah yang luas. Sepintas kesanya memang masih sangat pelosok. Maka tak heran jika Pak Surya masih sedikit merasa ragu di dalam hatinya. “Apa tidak salah jauh-jauh dari kota, malah ingin menyekolahkan anaknya di tempat pelosok kampung seperti ini ?”.  
Perasaan seperti ini bisa jadi bukan hanya Pak Surya saja yang merasakanya, akan tetapi banyak para orang tua lainya yang mungkin merasakanya juga. Namun dengan penuh keyakinan dan penuh kepercayaan terhadap pondok, akhirnya Pak Surya pun berusaha meyakinkan dirinya dengan pilihannya itu.
Saat memasuki gerbang Pondok pesantren, Pak Surya langsung dihadapkan dengan sebuah pemandangan yang berbeda. Tampak sebuah hamparan tanah kosong yang sudah disulap menjadi lapangan bola. Di sekitar lapangan itu sudah berdiri beberapa bangunan gedung permanen dan semi permanen, serta bangunan masjid yang terlihat kokoh. Tak jauh dari lapangan itu juga terdapat saung-saung bambu yang mengelilingi sebuah kolam ikan.
Saung-saung ini memang sengaja disediakan oleh Pondok pesantren sebagai tempat untuk bertemu antara orang tua dengan para santri. Setiap hari Jumat saung-saung pasti selalu penuh oleh orang tua santri yang sedang bercengkerama dengan putra putrinya. Mereka nampak berbaur menjadi satu tanpa membedakan angkatan. Ada yang sudah betahun-tahun anaknya belajar di pondok ini, namun ada pula yang baru masuk. Mereka tampak berbaur akrab dan rukun sekali.
Meskipun sudah berbaur, namun sebenarnya ada kebiasaan yang menandai antara santri yang sudah senior dengan yang baru masuk pondok.  Yaitu ketika sedang berkumpul dengan orang tuanya, jika para santri itu bisa tertawa dan becanda riang dengan keluarganya, maka biasanya itu adalah santri yang sudah senior. Tetapi jika kebersamaan mereka itu masih terlihat ada tangis dan cucuarn air mata dari para santri, biasanya itu adalah santri yang baru masuk pondok.
Setelah selesai mengurus administrasi, Pak Surya lantas ikut mengantarkan anaknya ke ruangan asrama bersama seorang pengurus. Saat melewati sebuah ruangan asrama yang sudah lama, tiba-tiba degg..!. Astagfirullohaladzim....Pak Surya melihat sebuah ruangan yang pengap, penuh dengan lemari kayu reyot, lantai kotor dan berdebu yang bercampur dengan buku-buku bekas yang berantakan serta sajadah bekas dan kasur usang yang numpuk di pojok ruangan. Dinding tembok pun nampak sudah kusam warna catnya. Dengan beberapa bagian  plafon yang sudah lepas dan menghitam tripleksnya karena bekas bocor saat hujan. Lampu penerangan yang digunakan pun hanya lampu neon beberapa watt yang temaram. Seakan menambah suasana kamar itu menjadi semakin suram. Sungguh tak terbayangkan jika datang musim hujan, seperti apa penderitaan yang bakal dialami oleh anaknya kelak.
Rasanya sungguh tak tega jika tempat seperti ini nantinya akan menjadi tempat tinggal sehari-hari bagi anaknya setelah menjadi santri kelak. Pak Surya pun hanya bisa mengeluh di dalam hatinya. Namun beruntung karena kamar ini bukan kamar asrama untuk anaknya.
Pak Surya bersama pengurus itu pun lantas berjalan menuju sebuah gedung yang masih bagus. Rupanya gedung ini yang dipergunakan untuk asrama santri baru. Ruanganya terlihat cukup bersih dan lebih rapi. Lantainya masih bersih karena keramiknya baru. Meskipun terlihat agak berantakan, akan tetapi jika di rapikan lagi lemari dan barang-barang yang sudah tak layak itu dibuang, maka pasti kelihatan bersih dan rapi. Ruangan ini lumayan bagus untuk ukuran sebuah asrama santri.
Namun Pak Surya kembali berpikir untuk meyakinkan dirinya, bahwa keputusanya memasukan anaknya ke pondok pesantren ini adalah sebuah pilihan yang tepat. Apalagi mengingat kondisi anaknya yang punya penyakit asma. Penyakit yang sangat sensitif terhadap debu, makanan yang mengandung pemanis buatan, cuaca dingin, maupun kegiatan yang membuatnya kecapekan. Apalagi jika melihat jadwal kegiatan pondok yang padat seperti itu, kemungkinan besar asmanya akan kambuh setiap saat. Lantas siapa nanti yang akan mengurusnya ?.
Setelah selesai mengantarkan anaknya ke asrama putra, lantas Pak Surya menuju ke bagian administrasi untuk menanyakan biaya bulanan, biaya buku pelajaran dan biaya lain-lainya. Setelah dihitung-hitung ternyata lumayan besar juga pengeluaranya dalam sebulan. Belum lagi jika ditambah setiap seminggu sekali harus menjenguk, bisa-bisa lebih banyak lagi pengeluaran untuk hal yang tidak terduga. Namun semua pengeluaran biaya itu sebenarnya tidak akan berarti jika dibandingkan dengan ilmu dan kepribadian yang akan diperoleh anaknya kelak.
 Karena Pondok pesantren ini memiliki kurikulum pengajaran dan tehnik pendidikan yang sangat luar biasa. Karena selain memiliki materi pelajaran umum setaraf kurikulum sekolah negeri pada umumnya, Pondok ini juga mengajarkan kurikulum pelajaran agama yang mendalam. Seperti ilmu fikih, nahwu, sorof, hadist, tafsir Quran, kitab kuning dan lain sebagainya. Dan yang paling menonjol adalah pengajaran bahasa Arab dan bahasa inggris yang diberikan. Karena selain diajarkan secara teori, juga harus dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan Pondok. Sehingga santri akan menjadi mahir menggunakan bahasa itu. Dan jika ketahauan tidak menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris yang telah dijadwalkan, maka santri itu bisa dikenakan hukuman. Maka tak heran jika para santri itu sangat fasih menggunakan bahasa Arab saat berbicara dengan sesama santri maupun dengan ustaznya.
Hati Pak Surya pun kini semakin mantap setelah menyelesaikan semua administrasi. Namun sekali lagi beliau mencoba bertanya kepada anaknya. Apakah masih sanggup masuk pondok dengan kegiatan dan peraturan yang ketat seperti ini ?. Namun jawaban anaknya masih tetap sama. Mendengar kemauan anaknya itu, Pak Surya pun menjadi terenyuh hatinya. Dia yakin sebenarnya anaknya ini hanya memaksakan dirinya saja, demi menyenangkan hati orang tuanya. Karena dia sendiri sebenarnya juga tidak yakin dengan kemampuanya menghadapi tantangan berat selama mengikuti kegiatan belajar mengajar di Pondok pesantren ini.
Sedangkan bagi Pak Surya sendiri, sebenarnya ini bukanlah perkara yang mudah. Artinya setelah memasukan anaknya ke Pondok Pesantren kemudian membayar biaya bulanan dan memberi uang saku, terus selesai begitu saja urusanya. Tidak. Justru dirinya dituntut lebih banyak mencurahkan perhatianya. Harus bisa memberikan motivasi saat anaknya menghadapi kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar atau ketika menghadapi masalah dengan teman satu asrama yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Apapun alasanya bagian ini tetap merupakan tugas orang tua, agar anaknya betah dan mampu bertahan di Pondok pesantren sampai selesai. Pak Surya pun sudah paham betul dengan tugas ini.
Setelah selesai membereskan semua administrasi dan membereskan perbekalan, akhirnya Pak Surya pun berpamitan kepada anaknya. Sebelum berpisah, Pak Surya memeluk anaknya itu begitu erat. Bahkan seperti tak ingin melepaskan pelukanya. Anaknya terlihat begitu pasrah di dalam rengkuhan bapaknya itu. Tanpa sadar air matanya pun mulai mengalir membasahi kedua pipinya. Pak Surya berusaha sekuat tenaga, menahan rasa haru yang mulai menggumpal di dalam dadanya. Rasanya seperti ingin meledak. Namun dia berusaha tidak menangis di depan anaknya.
Setelah cukup lama berpamitan, akhirnya Pak Surya melepaskan pelukanya dan menyuruh anaknya itu masuk ke asramanya. Tentu saja dengan beberapa nasihat supaya menjaga sikap dalam bergaul dengan teman-temanya nanti. Dan dengan perasaan hati yang berat, anaknya itu pun lantas meninggalkan bapaknya menuju ruang asrama. Pak Surya hanya tertegun, ketika memandang anaknya itu semakin jauh meninggalkanya. Rasanya seperti tak mampu bergerak sedikitpun. Pak Surya seperti tak ingin meninggalkan tempatnya berdiri sampai anaknya tak terlihat lagi. Dan tanpa dia sadari tiba-tiba air matanya meleleh membasahi kedua pipinya. Semakin lama air mata itu semakin deras membasahi kelopak matanya. Kini Pak Surya hanya bisa menangis tersedu-sedu seorang diri. Sambil berusaha menghapus air matanya, dia pun berusaha mengalihkan pandanganya ke arah kubah masjid yang berdiri kokoh di atas dataran yang lebih tinggi itu. Tiba-tiba Pak Surya merasa sangat takjub ketika melihat ada sebuah pelangi yang sangat indah di atas kubah masjid itu. Entah dari mana datangnya. Padahal cuaca sangat terang, tanpa ada gerimis atau pun hujan.
 Setelah melewati minggu pertama, Pak Surya kembali mengunjungi anaknya di Pondok pesantren. Sengaja dia memilih berkunjung pada hari Jumat. Karena hari jumat adalah hari libur, sehingga para wali bisa mengunjungi anaknya dengan leluasa. Hatinya merasa sangat senang sekali, sekaligus bangga ketika bertemu dengan pelita hatinya ini. Meskipun baru seminggu di pondok pesantren, namun penampilan anaknya sudah berubah total. Terlihat sopan sekali dengan kemeja koko lengan panjang, yang dipadu dengan celana hitam serta sebuah songkok hitam yang dikenakanya. Penampilanya sudah mirip dengan santri senior. Inilah hasil didikan Pondok itu.
Kali ini Pak Surya lebih banyak meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita anaknya selama seminggu di Pondok pesantren. Pak Surya merasa sangat kagum ketika melihat anaknya semangat sekali menceritakan jadwal kegiatanya. Subuh sudah harus bangun dan harus sholat berjamaah ke masjid, setelah itu sarapan dan belajar sampai dhuhur. Kemudian berjamaah sholat dhuhur di masjid. Kemudian dilanjutkan belajar agama sampai ashar. Kemudian melakukan sholat ashar berjamaah di masjid, begitu juga maghrib dan isyak. Seluruh rangkaian kegiatan itu akan selesai jam sepuluh malam. Setelah itu Santri baru boleh istirahat tidur. Sungguh bangga sekali Pak Surya ketika melihat ketegaran hati anaknya ini. Rasanya seperti tidak percaya.
Setelah puas mendengarkan cerita anaknya dan memberikan nasehat-nasehatnya, Pak Surya pun segera pamit. Sebelum pergi Pak Surya kembali memeluk anaknya dengan erat. Suasana pun berubah menjadi haru. Supaya tidak larut dalam perasaan sedih akhirnya Pak Surya melepaskan pelukanya dan menyuruh anaknya masuk ke ruang asramanya. Pak Surya kembali tertegun ketika menyaksikan anaknya itu semakin jauh meninggalkan dirinya. Tanpa terasa air matanya pun kembali meleleh membasahi kedua pipinya. Pak Surya mencoba menghapus air matanya  itu, namun bukanya berhenti tetapi malah semakin deras membasahi kelopak matanya. Merasa tak kuat menahan tangisnya, Pak Surya pun mencoba mengalihkan pandanganya ke arah kubah masjid yang berdiri kokoh di ujung lapangan. Tiba-tiba Pak Surya terhenyak kaget ketika lagi-lagi menyaksikan ada sebuah pelangi yang sangat indah di atas kubah masjid itu. Padahal cuacanya sangat cerah. Tidak ada gerimis dan tidak ada hujan. Lantas dari mana asal pelangi itu ?.
Hari telah berganti hari, bulan pun telah berlalu. Tanpa terasa waktu terus berputar dengan begitu cepatnya. Tanpa sadar, anaknya kini sudah setahun berada di pondok pesantren. Sebagai hadiah atas kenaikan kelas anaknya, Pak Surya sengaja membelikan anaknya sebuah handphone baru dengan merek terkenal. Tujuanya adalah untuk memberikan semangat kepada anaknya ini. Meskipun handphone itu sebenarnya tidak boleh di bawa anaknya selama di Pondok, namun saat kunjungan seperti ini, handphone itu bisa dipakai oleh anaknya. Tapi setelah selesai kunjungan, handphone itu harus kembali di bawa pulang. Begitulah peraturanya. Jika santri ketahuan membawa handphone atau musik player selama belajar di pondok, maka santri itu akan dihukum sesuai peraturan. Biasanya setelah shalat berjamaah, santri itu disuruh berdiri di depan masjid dan disuruh menghancurkan sendiri handphonenya itu. Hal ini untuk memberi pelajaran kepada santri yang lainya supaya tidak ada yang coba-coba melanggar peraturan. Itulah hukuman ala santri. Sebenarnya masih banyak jenis hukuman yang lain, seperti dibotak kepalanya, jika kabur. Dijemur jika tidak sholat berjamaah. Disuruh kerja bakti jika tidak menggunakan bahasa arab atau inggris dalam percakapan, dan masih banyak lagi yang lainya. Intinya adalah semua hukuman itu untuk membuat santri menjadi pintar dan disiplin. Jadi orang tua sebenarnya tidak perlu panas kupingya jika mendengar anaknya melapor mendapat hukuman. Bahkan jika kesalahan yang dibuat santri itu sudah cukup parah, maka tak segan-segan pula santri itu akan dikeluarkan oleh pondok.
Pada tahun kedua ini Pak Surya terlihat sudah semakin tegar hatinya. Meskipun masih seminggu sekali mengunjungi anaknya, namun sudah jarang sekali dia bercucura air mata ketika berpisah dengan anaknya itu. Sehingga ketika dia memandang ke arah kubah masjid, dia sudah tidak melihat lagi ada pelangi di atas kubah masjid itu.    
Kini Pak Surya sudah terbiasa ketika mendengar anaknya menceritakan model pendidikan yang diterapkan di Pondok. Hatinya sudah merasa lebih kuat ketika mendengar anaknya cuma mendapatkan pelayanan sekedarnya sesuai dengan standard Pondok. Pondok menganggap semua santri itu adalah sama tanpa membedakan latar belakang, suku, anak orang kaya atau keluarga pas-pasan. Semuanya mendapatkan pelayanan dan perlakuan yang sama. Semua santri diwajibkan mengikuti kegiatan yang sudah di jadwalkan. Dan harus bersedia menerima hukuman jika melakukan kesalahan. Waktu tidur pun dibatasi hanya enam jam dalam sehari, yaitu dari pukul sepuluh malam sampai jam empat pagi. Setiap hari Santri harus siap melakukan sholat berjamaah di masjid. Jika melanggar santri akan diberi hukuman.
Pak Surya kini merasa sangat bangga ketika melihat anaknya itu sudah bisa berbahasa arab dengan lancar, bisa mengaji Al Quran dengan benar, dan sangat santun dalam bersikap. Tak disangka ketika melihat kondisi anaknya dulu yang ringkih dan memiliki penyakit asma itu, kini sudah tumbuh menjadi remaja yang tangguh hatinya dan berbudi pekerti yang luhur. Pak Surya lantas mengucap puji syukur kehadirat Allah swt atas karunia ini. “Terimakasih ya Allah...!. Ternyata ini bukan sebuah pilihan yang salah, ketika memasukan anaknya ke Pondok Pesantren ini !”. Kata Pak Surya menangis haru sambil mengusap kelopak matanya. Pak Surya pun lantas melihat kembali ke arah kubah masjid itu untuk membuktikan bahwa Pelangi itu masih ada di atas kubah masjid At-Taawun.


Cerpenis adalah wali santri tinggal di Tangerang

No comments:

Post a Comment