LONCENG TENGAH MALAM
Oleh Subkhan R
Pemuda itu bernama Jeki. Saat ini usianya sudah
menginjak 14 tahun. Dalam usianya yang masih terbilang muda ini, Jeki sudah menjadi
santri di Pondok Pesantren selama hampir lebih dari empat tahun lamanya. Tanpa
terasa, saat ini dia sudah duduk di kelas empat.
Sejak awal masuk ke Pondok pesantren, Jeki tak
pernah sedikitpun merasa terpaksa. Dia merasa senang dengan pilihan ini. Bahkan
dia tidak pernah merasa tergoda sedikitpun ketika teman-temanya banyak yang mengajaknya
melanjutkan sekolah ke sekolah negeri atau sekolah swasta di luar Pondok
pesantren. Namun tekadnya sudah bulat dengan pilihanya ini.
Dia sudah menyadari sepenuh hati bahwa sekolah
di Pondok pesantren itu sangat berbeda dengan sekolah pada umumnya. Sebab selama
mondok dia harus mampu hidup terpisah dengan kedua orang tua dan keluarganya.
Dia harus rela meninggalkan semua fasilitas yang bersifat duniawi. Dia harus siap
belajar ekstra dan siap mengabdikan dirinya untuk menuntut ilmu agama. Bahkan
dia harus bersedia mengikuti aturan, tatatertib, disiplin dan cara hidup di
lingkungan Pondok pesantren yang sudah ditentukan. Semua resiko itu sudah
difahami betul oleh Jeki. Sehingga ketika dia masuk ke Pondok, tak ada sedikitpun
perasaan terbebani. Sungguh luar biasa tekad pemuda yang satu ini.
Namun dibalik semua kemauan dan tekadnya itu,
ternyata Jeki juga seorang pemuda yang biasa pula. Dibalik semua kelebihan itu,
ternyata dia juga memiliki masalah yang tidak bisa hilang hingga kini. Masalahnya
itu tidak berkaitan dalam hubunganya dengan sesama santri atau masalah yang
berkaitan dengan proses belajar mengajar atau yang berkaitan dengan kehidupanya
di lingkungan pondok. Namun masalah itu berkaitan dengan perasaanya sendiri,
yaitu dia memiliki perasaan takut yang berlebihan terhadap lingkungan sekitar pondok.
Perasaan takut yang dia miliki itu sebenarnya muncul
karena perubahan lingkungan tempat tinggalnya. Sebab sejak kecil hidupnya sudah
berada di lingkungan kota besar yang ramai. Namun seakarang dia harus tinggal di
lingkungan Pondok yang sepi dan jauh dari keramaian. Sehingga dia selalu merasa
dikelilingi oleh perasaan ketakutan jika sedang sendirian. Masih beruntung setiap
ingin keluar kamar malam hari, dia memiliki teman akrab yang selalu menemaninya.
Jika tidak ada teman itu, sudah pasti dia tidak akan berani keluar sendirian.
Pondok pesantren tempatnya belajar ini lokasinya
berada di sebuah desa yang masih sepi dan jauh dari keramaian kota besar. Lokasinya
berada tepat di belakang perkampungan yang dikelilingi oleh semak belukar serta
pohon-pohon yang besar. Dan sebagian lagi, masih berbatasan langsung dengan
hamparan sawah yang luas.
Bangunan utama Pondok berada di sisi kiri kanan
lapangan rumput dan lapangan parkir kendaraan. Dan di sebelah ujung lapangan
itu, nampak berdiri sebuah mesjid dua lantai yang megah. Sedangkan untuk ruang
kelas dan ruang asrama berada jauh di belakang bangunan utama itu. Sebagian
besar asramanya berada di lokasi yang masih dikelilingi oleh kebun kosong dan pepohonan.
Jika siang hari suasanya terasa teduh dan nyaman. Namun jika malam hari, udaranya
berubah menjadi dingin dan agak mencekam.
Suasana malam seperti inilah yang membuat Jeki,
terkadang merasa tidak nyaman hatinya. Apalagi jika dia sedang mendapat giliran
tugas “bulis” malam. Ingin rasanya dia mangkir dan tak mau melaksanakan tugas
itu. Namun tak mungkin dia menolaknya begitu saja dengan alasan takut. Sebab tugas
“bulis” malam itu sudah menjadi satu kewajiban bagi setiap santri senior. Jadi
mau tidak mau, suka tidak suka, berani tak berani dia harus melakukanya.
Meskipun dengan perasaan takut yang selalu menghantuinya setiap waktu. Apalagi belakangan
ini sudah banyak beredar cerita tentang kejadian aneh yang berbau mistis di
lingkungan Pondok.
Malam ini Jeki bersama teman santri lainya kebetulan
mendapat tugas “bulis” malam. Seperti biasa setelah selesai sholat Isya, mereka
sudah bersiap-siap hendak keliling lokasi pondok. Tanpa terasa jarum jam sudah
menunjukan pukul sebelas malam. Ini berarti bahwa semua santri sudah selesai melakukan
rutinitas kegiatannya. Dan sebagian besar dari mereka sudah masuk ke kamarnya
masing-masing. Bahkan sebagian lagi malah sudah terlelap di dalam tidurnya.
Kini suasana pondok mulai terasa sunyi dan
sepi. Angin malam bertiup kencang. Seakan membawa kabar berita dari alam yang
mencekam. Lampu penerangan yang terpasang di setiap sudut jalan nampak bersinar
temaram. Seakan tak mampu menembus pekatnya kegelapan malam. Entah kenapa. Malam
ini langit gelap gulita, tertutup oleh mendung hitam yang tebal. Sesekali
tampak cahaya kilat menyambar, diiringi oleh suara bergemuruh yang panjang. Tak
lama kemudian rintik air hujan pun mulai jatuh membasahi rumput serta dedaunan.
Jeki bersama Dino nampak sedang berteduh di
bawah saung bambu yang berada di ujung lingkungan pondok. Mereka berdua sudah merasa
kedinginan sejak tadi meskipun telah mengenakan jaket yang tebal. Rupanya jaket
itu sudah tak mampu lagi menahan dinginya cuaca malam. Mereka berdua bahkan mulai
mengigil kedinginan. Di dalam hati, mereka berharap ada sesuatu yang bisa
dimakan untuk sekedar menghangatkan tubuh mereka. Namun sayang, kopi serta roti
kering bekal mereka sudah habis sejak tadi. Sedangkan untuk mengambil lagi ke kamar
rasanya sudah malas. Sebab jaraknya lumayan jauh dan yang pasti akan basah
kuyub. Akhirnya untuk mengurangi rasa dinginya itu, Jeki mencoba rebahan sambil
menahan rasa kantuk yang telah menggelayuti kedua matanya.
Sementara itu, Dino masih terlihat mengarahkan sorot
lampu senternya ke kebun kosong yang berbatasan langsung dengan kebun milik
penduduk. Dia mencoba untuk memastikan bahwa tidak ada sesuatu yang
mencurigakan di kebun itu. Namun sayang cahaya senter itu seakan tertahan oleh
rimbunya semak belukar. Tiba-tiba Dino menjadi terbelalak ketika melihat pohon
mangga yang ada di kebun itu. Sebab pohon mangga cangkokan itu buahnya sangat
lebat. Bahkan sebagian buahnya nampak sudah menguning dan mulai matang. Dino pun
langsung menyenggol tangan Jeki,
“Jeki...!”.
“Apa ?”.
“Lihat tuh pohon mangga. Ente lihat gak ?”.
“Iya lihat. Wah...mantap. Buahnya banyak banget
!”.
“Makanya. Ana mau ngambil. Ente mau gak ?”.
“Dino. Tunggu dulu !”.
“Kenapa?”.
“Ente yakin ?”.
“Yakinlah !”.
“Perasaan tadi siang pohon ini buahnya masih
kecil-kecil deh !”.
“Halah... udah. Dasar ente penakut !”.
Dino berkata sambil berjalan menuju pohon
mangga itu. Jeki pun akhirnya mengikuti saja meskipun perasaanya menjadi tak
menentu. Setelah sampai di bawah pohon mangga itu, Dino langsung memilih buah
mangga yang sudah matang. Dia tak perlu memanjat pohon itu lagi. Sebab pohon
mangga itu buahnya bergelantungan sangat rendah. Dino tidak hanya memetik sebiji
atau dua biji saja, akan tetapi dia memetik cukup banyak. Dan setelah merasa
puas, akhirnya Dino pun mengajak Jeki balik ke saung untuk menikmati mangga
itu.
Setelah sampai di saung, Dino langsung
meletakan mangga itu di lantai dan memilih buah mangga yang paling besar ukuranya.
Tanpa menunggu lagi, Dino pun langsung memakan mangga itu dengan lahapnya.
Namun belum sempat dia menghabiskan buah itu, tiba-tiba Jeki berteriak keras
dengan suara terbata-bata
“Dino..En...ente.....mulut ente Dino !”.
“Kenapa Jek ?”.
“Mulut ente....berdarah-darah !”.
“Apa ?”.
Dino pun langsung meraba mulutnya. Dan alangkah
kagetnya dia ketika menyadari buah mangga yang dia makan itu, ternyata sudah berubah
warna menjadi merah darah. Dino pun langsung memuntahkan sisa mangga yang masih
berada di dalam mulutnya itu sambil berteriak......
“Lariiii....!”.
Akhirnya Jeki dan Dino pun berlari tunggang
langgang meninggalkan saung bambu itu. Mereka sudah tak peduli lagi dengan sisa
buah mangga yang masih tergeletak di lantai saung. Mereka sudah tak peduli lagi
dengan rasa lapar yang sudah melilit perutnya. Bahkan mereka sudah tak peduli
lagi dengan gerimis yang mulai membasahi pakaianya. Kini yang mereka pikirkan
hanya satu, yaitu meninggalkan saung itu
secepatnya.
Dengan napas terengah-engah akhirnya mereka
berdua sampai di halaman Pondok. Mereka berdua lantas berteduh di saung yang
berada di pinggir kolam ikan. Wajah Jeki nampak pucat pasi karena merasa
ketakutan. Begitu pula dengan Dino.
Sambil mengatur nafas, mereka berdua saling pandang. Namun tak sepatah kata pun
keluar ucapan dari mulut mereka.
Setelah beristirahat sejenak, mereka berdua pun
akhirnya mulai bisa mengendalikan diri. Mereka lantas mulai membicarakan
kejadian tadi. Sungguh aneh dan sangat mengerikan. Tiba-tiba Dino merasa
perutnya mulas sekali.
“Jeki. Ana ke “hamam” dulu ya ?”.
“Ikut dong !”.
“Gak usah. Cuma sebentar kok. Ente tunggu
disini saja ya ?!”.
Dino pun lantas lari ke “hamam” sambil memegang
perutnya. Dia seperti sudah tak peduli lagi dengan gerimis yang masih turun rintik-rintik.
Setelah Dino pergi, kini tinggal Jeki sendirian
yang terlihat duduk di saung itu. Awalnya dia terlihat duduk santai. Namun lama
kelamaan sikapnya semakin gelisah. Beberapa kali dia mencoba menyenter ke arah “hamam”.
Namun tak terlihat tanda-tanda temanya itu sudah selesai buang hajat. Perasaan
takut pun mulai menyerangnya. Apalagi setelah mengalami kejadian yang baru
dialaminya tadi. Sungguh mengerikan. Seumur hidup baru pertama kali ini dia mengalaminya.
Sambil celingukan kesana kemari, Jeki pun mencoba
mengarahkan lampu senternya ke arah “hamam” lagi. Namun Dino belum terlihat juga.
Kemudian Dia mencoba mengarahkan lampu senternya ke arah lokasi yang berada jauh
di ujung Pondok. Dia bermaksud memberi tanda kepada temanya dengan mengoyang-goyangkan
lampu senter itu. Namun sayang, setelah berkali-kali mencoba ternyata tidak ada
juga balasanya. Akhirnya Jeki pun menghentikan usahanya itu. Kini Jeki cuma
bisa pasrah sambil menunggu sisa tugas bulis malamnya ini selesai.
Sambil duduk bersandar di dinding saung, Jeki lantas
melihat jam tanganya. Ternyata sudah hampir jam duabelas malam. Berarti tinggal
separoh malam lagi tugasnya akan selesai. Belum sempat Jeki mengalihkan
perhatianya dari jam tanganya itu, tiba-tiba terdengar suara lolongan anjing di
kejauhan. Suara lolonganya terdengar sangat panjang seperti menyayat hati. Bulu
kuduk Jeki pun langsung merinding berdiri.
Belum hilang suara lolongan itu dari
pendengaranya, tiba-tiba terdengar suara lonceng yang berdentang berkali-kali.
Suara itu ternyata berasal dari lonceng yang biasa dipukul jika sirine tanda “jaros”
sedang mati. Suara lonceng itu terus berbunyi. Semakin lama semakin keras.
Bahkan seperti terdengar semakin dekat di telinganya. Jeki menjadi tergidik ketakutan.
Hatinya pun lantas bertanya, Siapakah yang memukul lonceng tengah malam begini
?”.
Sekali lagi Jeki mencoba mengarahkan sorot lampu
senternya ke arah “hamam”. Namun ternyata belum juga terlihat bayangan temanya
itu. Padahal sudah cukup lama Dino pergi. Jeki pun menjadi semakin gemetar ketakutan.
Sekujur tubuhnya mulai basah kuyup oleh keringat dingin yang bercucuran. Namun
dia tak bisa berbuat apa-apa, kecuali merapatkan tubuhnya ke dinding saung.
Belum mulai berkurang rasa takutnya itu, tiba-tiba
Jeki tersentak kaget ketika melihat pohon nangka yang berada persis di sampaing
saung. Buah nangka itu buahnya mulai membesar sendiri. Semakin lama, menjadi
semakin membesar. Bahkan sudah melebihi ukuran normalnya. Tiba-tiba buah nangka
yang sudah besar itu pun pecah dan mengeluarkan cairan merah seperti darah.
Lantas dari dalam buah nangka itu pun muncul sepasang kaki dan tangan manusia
yang berlumuran darah.
Jeki membelalakan kedua matanya sambil berusaha
menutup mulutnya. Ingin rasanya dia berteriak kencang. Namun sayang, suaranya tak
bisa keluar. Seperti tercekik di tenggorokan. Berkali-kali Jeki mencoba berteriak
minta tolong, namun hasilnya tetap sama saja. Karena merasa tak mampu berteriak
lagi, akhirnya dia memutuskan untuk lari meninggalkan saung itu. Namun aneh.
Tiba-tiba kedua kakinya tak bisa bergerak sedikitpun. Seperti terpasung di
tempat itu. Berkali-kali dia mencoba untuk bergerak sambil berteriak sekuat
tenaga. Namun usahanya tetap sia-sia.
Jeki merasa tubuhnya sudah semakin lemas karena
ketakutan. Tubuhnya terasa dingin bagaikan mayat hidup. Kedua matanya melotot,
dengan mulut menganga, serta nafas tersengal-sengal karena rasa takut yang amat
sangat.
Namun ketika rasa takutnya itu sudah hampir memuncak,
tiba-tiba Jeki merasa mendapat semangat baru. Dia melihat seseorang keluar dari
“hamam” dan berjalan pelan kearahnya. Jeki merasa yakin jika orang itu adalah
Dino. Dan dengan sisa tenaga yang masih dia miliki, Jeki pun mencoba beteriak minta
tolong.
Namun sosok itu hanya diam saja sambil terus berjalan
ke arahnya. Berkali-kali Jeki mencoba memanggilnya, namun sosok itu hanya menunduk.
Bahkan ketika semakin dekat, sosok itu masih menundukan kepalanya. Sekali lagi Jeki
mencoba meminta tolong. Namun tetap tidak ada jawaban. Setelah sosok itu tepat berada
di depanya, Jeki lantas menyapanya.
“Dino....Ente kenapa sih menunduk terus ?”.
Kata Jeki sambil mencoba melihat wajah itu. Akan
tetapi wajah itu tak bisa terlihat dengan jelas. Sekali lagi Jeki mencoba
melihat wajah itu, namun masih tetap tak terlihat dengan jelas.
Sekali lagi Jeki mencoba melihat wajah itu. Dan
ketika sosok itu mengangkat wajahnya, Jeki pun lantas berteriak kencang. Wajah itu
ternyata tidak memiliki biji mata. Yang terlihat hanya lubang di kelopak biji matanya
itu. Sekali lagi Jeki berteriak sambil meronta-ronta ketakutan. Sampai tubuhnya
terasa lemas tak berdaya. Namun sebelum jatuh pingsan, tiba-tiba Jeki seperti mendengar
suara orang memanggilnya sambil mengoyang-goyangkan tubuhnya. .
“Jeki...Bangun...Ayo bangun !”.
Jeki pun tersentak kaget ketika terbangun. Tiba-tiba
Jeki merasa sangat lega ketika menyadari semua itu hanya mimpi. Jeki melihat Dino
bersama teman-teman yang lainya ternyata sudah berkumpul di saung itu.
“Makanya Jek, kalau lagi bulis malam jangan suka
molor. Ente lagi mimpi ya ?”.
“Iya !”.
“Uh...Kebiasaan !”.
“Maaf !”.
“Nih....buat ente biar gak ngantuk lagi !”.
Kata Dino tegas sambil menyodorkan buah mangga
yang kulitnya sudah kuning karena matang. Tiba-tiba Jeki tersentak kaget, ketika
melihat buah mangga itu, ternyata sama persis dengan buah mangga yang ada di
dalam mimpinya. (*)
Penulis Adalah Wali Santri Ponpes
Manahijussadat Tinggal di Tangerang
No comments:
Post a Comment